Saturday 17 March 2007

Perlukah RUU Bahasa?

Jumat, 16-03-2007 08:21:22 oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Opini

Pada harian Kompas hari Minggu, 11 Maret 2007, ada tulisan dari Ariel Heryanto dalam kolom Asal Usul berjudul "RUU Bahasa". Tulisan ini sangat menarik untuk disimak karena secara jelas mengutip pencampuran penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris oleh harian papan atas maupun oleh sastrawan Indonesia. Dalam bahasa sehari-hari tentu saja kita sangat dekat dengan penggunaan gaya bahasa yang populer. Yang terpopuler saat ini rupanya memang mencampurkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.



Contoh lain yang saya dapatkan ada pada majalah "get connected to network!" (terbitan PT MNI Global). Dari judul majalah mungkin kita bisa berpikir ini majalah berbahasa asing, tapi di dalamnya ternyata berbahasa gado-gado! Bahkan dalam tulisan sang editor pun penuh dengan pencampuran pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Saya kutipkan sedikit:" Last but not least, saya ingin mengucapkan terimakasih untuk semua pihak yang membantu MNC Peduli dalam rangka membantu korban banjir di Jakarta, para medis, relawan,tim keamanan, teman teman pegawai MNC grup, seluruh sponsor yang bersedia menyumbang makanan,obat obatan,minuman serta alat komunikasi, all my beloved celebrities...plus handful of wonderful artist & talent managers yang membantu menghibur warga Jakarta. You have all such a wonderful heart." Kecuali nama-nama yang disebutkan (diganti dengan ...) maka semua tulisan di atas saya kutip persis seperti aslinya. Jadi penulisan terimakasih, maupun ketiadaan spasi, serta bahasa Inggris yang digunakan adalah hasil akhir yang diterima di tangan pembaca.

Di tempat lain (baca: di lampu merah), ada lagi judul-judul berita yang cukup seram dengan bahasa yang jelas-jelas tidak terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, entah ini dari bahasa daerah atau hanya bahasa tutur lisan biasa. Karena kata-kata yang digunakan sungguh tidak sopan, maka saya tidak akan membahasnya disini.

Saya tidak secara khusus meneliti beberapa harian maupun majalah dalam topik penggunaan bahasa yang baik dan benar, tapi fenomena ini memang menarik. Bahkan bagi jurnalisme publik seperti wikimu.com hal seperti ini mungkin perlu juga menjadi perhatian. Melalui beberapa kali kunjungan ke Panyingkul.com, sebuah jurnalisme publik lokal dari Makassar, saya lihat penggunaan bahasa Indonesia yang baik sangat diperhatikan oleh kontributornya (mungkin juga yang kurang baik belum terbaca). Tentu saja untuk penulisan komentar cukup bebas, bahkan boleh menggunakan bahasa daerah.

Di wikimu.com saya pernah menemukan komentar yang akan terbaca ajaib bagi pembaca yang tidak mengerti bahasa (Inggris) teknik. Pada waktu itu saya cuma membatin kenapa tidak sekalian berbahasa Inggris sih?! Tapi, namanya komentar tentunya sudah menjadi hak bebas komentator. Hanya, bagi sebuah artikel dalam konteks jurnalisme sebaiknya terus berada dalam rambu-rambu bahasa yang benar. Dari pengamatan sekilas, saya melihat adanya kecenderungan pembaca wikimu untuk menyukai gaya bahasa yang ringan, luwes, dan populer.

Bagaimana agar usaha menggunakan gaya bahasa yang populer dan sesuai dengan pangsa pasar tidak merusakkan etika berbahasa kita sendiri? Terkadang memang sulit berbahasa yang baik dan benar bila otak kita terprogram dalam bahasa gado-gado. Karena terlalu takut menghadapi era globalisasi, maka sedari kecil anak-anak sudah dicekoki bahasa-bahasa asing (terutama bahasa Inggris).

Anak saya sendiri walaupun tidak dalam taraf dicekoki (termasuk setengah dicekoki, karena ibunya menyediakan VCD, permainan komputer, serta buku-buku yang sebagian besar berbahasa Inggris) terkadang menjadi bingung dalam berbahasa Indonesia karena yang teringat adalah istilah asingnya. Atau pengalaman teman lain yang anaknya masih TK tapi sudah les bahasa Inggris (sebelum lancar baca tulis), ia kebingungan ketika sang anak ngotot bahwa cara menulis apel dengan benar harus dengan dua huruf p...appel, wah harus masuk ke kamus yang mana ya?!

Menulis artikel ini sebenarnya agak sulit bagi saya, takut ada kesan terlalu sok pintar. Padahal saya memang sesungguhnya tidak pakar berbahasa, hanya saya ikut merasa prihatin. Bahasa katanya menunjukkan bangsa, kalau penggunaan bahasa Indonesia kita sudah kacau balau, masihkah bolehkah kita mengatakan bangga menjadi bangsa Indonesia?

Saya rasa hal yang kita perlukan adalah sarana pembelajaran berbahasa, dan contoh penggunaan bahasa yang baik (wahai para editor, pergunakan kesempatan ini....). Rasanya mengadakan RUU Bahasa hanya akan semakin mengaburkan arti demokrasi! Tumbuhkanlah kesadaran berbahasa, tumbuhkanlah kesadaran berbangsa!


Jumat, 16-03-2007 08:42:41 oleh: bajoe
Seingatku, ini adalah ketiga kalinya Retty menulis topik bahasa Indonesia. Sejak pertama topik ini muncul, aku sudah pengen memberi tanggapan dalam bentuk warta yang lain. Tapi belum kelar-kelar. Tunggu ya :)

Sedikit komentar soal RUU Bahasa, menurutku ini tidak ada perlunya bahasa dibuat undang-undang. Sebaiknya enerji yang ada digunakan untuk membuat standar bahasa Indonesia baku dan mensosialisasikannya.

Tapi UU? ini agak konyol, bahasa adalah bagian dari kebudayaan, yang dinamis selalu berkembang dan tidak bisa dikodifikasi / dijadikan hukum. Nanti malah timbul pasal-pasal sanksi yang aneh untuk sebuah bahasa.

Kecuali RUU ini motifnya proyek, agar dana pembuatan RUU cair...apa mau dikata....


--------------------------------------------------------------------------------

Jumat, 16-03-2007 10:59:09 oleh: Mimbar Saputro
Bahasa Indonesia memang top-markotop sulitnya. Membaca ulasan para ahli bahasa macam Yus Badudu, Anton Moeliono lalu coba kita praktekkan dalam tulisan sehari-hari sudah sukar tahap pertama. Kemudian muncul ahli bahasa di majalah Tempo, Gatra dan media lainnya, lama-lama seperti membaca jurnal kesehatan. Ahli lain bilang minum teh baik untuk jantung, dokter gigi bilang membuat plak pada gigi, ahli nutrisi bilang belum terbukti anti oksidan dalam teh akan membentur kanker. Akhirnya saya ribet sendiri.


--------------------------------------------------------------------------------

Jumat, 16-03-2007 12:19:39 oleh: Norman Sasono
Saya juga bukan ahli bahasa (bahasa manusia), entah bagi yang lain, kalau bagi saya, bahasa secara umum adalah:

- Himpunan dari "perbendaharaan kata (vocabulary)"
- dan himpunan dari "tata bahasa (grammar)"

Jadi, suatu pernyataan dalam suatu bahasa tidak lebih dari rangkaian ekspresi yang menggunakan perbendaharaan kata (vocabulary) dan mengikuti suatu tata bahasa (grammar).

Kalau begitu, Bahasa Indonesia adalah himpunan "vocabulary" dan "grammar" Indonesia. Nah, siapa yang berhak mendefinisikan suatu kata dan tata bahasa adalah "Indonesia"? Siapa yang berhak mendefinisikan bahasa Indonesia yang "baik" & "benar"? Apakah ini yg ingin dicapai melalui RUU ini?

O ya, bahasa juga berevolusi. Bahasa juga bisa punah jika tidak ada lagi yang pakai. Atau bisa juga tidak ada manusia yg pakai dlm kehidupan sehari-hari, tapi masih dipakai dlm konteks tertentu. Bahasa Latin misalnya, tidak ada bangsa yang sehari-hari berbicara lagi dlm bahasa Latin. Tp dlm literatur Science (dan religius) bahasa ini dipakai, mungkin karena memang sangat logis dan elegan/indah.

Satu kata di "vocabulary" suatu bahasa bisa diambil jadi "vocabulary" bahasa lain. Bahasa Indonesia cukup sering mengambil "vocabulary" bahasa lain. Contoh: "Komputer" dari "Computer" yang tidak lebih adalah penulisan fonetik dari ucapan "Computer" dalam Bahasa Indonesia. Siapa yg berhak memasukkan suatu "vocabulary" suatu bahasa ke bahasa lain? Aturannya gimana? Siapa yg berhak mendefinisikan aturannya?

Jd, karena bahasa juga berevolusi, maka tunduk pada hukum evolusi. "Only the fittest survive".

Apakah Bahasa Indonesia bisa survive? Bagaimana membuat suatu bahasa bisa survive? Kalau di dunia evolusi, kayaknya "Bahasa Inggris" adalah "manusia".

Bahasa Sansekerta ternyata masih dipakai lho di satu desa di India! Spt halnya Kom


--------------------------------------------------------------------------------

Jumat, 16-03-2007 12:22:07 oleh: Norman Sasono
Jd, karena bahasa juga berevolusi, maka tunduk pada hukum evolusi. "Only the fittest survive".

Apakah Bahasa Indonesia bisa survive? Bagaimana membuat suatu bahasa bisa survive? Kalau di dunia evolusi, kayaknya "Bahasa Inggris" adalah "manusia".

Bahasa Sansekerta ternyata masih dipakai lho di satu desa di India! Spt halnya Komodo yang hanya ada di Pulau Komodo.



--------------------------------------------------------------------------------

Jumat, 16-03-2007 12:47:40 oleh: wahjoe witjaksono
Bahasa Indonesia yang baik dan benar perlukah? Yang penting kita bisa saling komunikasi dan nggak ribet, kalo diatur dan ada sanksinya bisa-bisa pake basa isyarat, takut kena sanksi. Bahasa adalah sesuatu yang dinamis, istilah A disana belum tentu berarti A di daerah lain, Gedhang di Sunda beda dengan Gedhang di Jawa. Flexible-lah, yang penting tidak menyinggung orang lain. Jadi UU Bahasa nggak perlulah,biarkan bahasa berjalan sesuai jamannya.

No comments: