Tuesday, 13 March 2007

Ibu, Anak Adalah Titipan Allah!

Senin, 12-03-2007 08:51:57 oleh: Retty N. Hakim Kanal: Kriminal
Seorang ibu mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Empat anaknya diduga juga disuguhi minuman beracun. (dikutip dari Warta Kota, 12 Maret 2007). Melihat judul utama dengan foto-foto yang menyertai, saya merasa sangat prihatin. Bagaimana tidak? Seorang ibu tega mengambil nyawa anak-anaknya sendiri karena merasa tidak mampu keluar dari kesulitan hidupnya.
Kehidupan zaman ini memang semakin sulit, pergesaran prioritas juga menjadikan keluarga seringkali tidak lagi menjadi keutamaan. Keutamaan itu bukan semata dalam hal materi, tapi terlebih dalam hal perhatian (empati dan afeksi). Ini yang seringkali terlupa tatkala orang tua berkutat dengan prioritas ekonomi. Seorang ibu pada dasarnya adalah orang yang terdekat dengan anak-anaknya. Selama sembilan bulan lebih dia sudah membawa anaknya di dalam perutnya. Selama itu pula dia membantu Allah melindungi cikal bakal manusia yang sedang dikandungnya. Setelah itu dia pula yang tentunya paling dekat dengan anak-anaknya karena sebenarnya tugas seorang ibu pula untuk mengalirkan air kehidupan melalui air susunya.
Kejadian seperti ini bukan yang pertama terjadi (saya pernah melihat di acara Kick Andy sebuah peristiwa yang hampir sama, hanya sang ibu akhirnya tidak meninggal tapi berakhir di penjara). Sungguh memilukan memikirkan bahwa anak yang dititipkan Allah kepada seorang ibu diputuskan kehidupannya oleh sang ibu sendiri.
Dalam agama apapun di dunia, saya yakin semuanya menentang pembunuhan walaupun yang diputuskan adalah kehidupan orang itu sendiri. Apalagi kehidupan orang lain. Kehidupan manusia itu adalah dari sang Khalik, Dia hanya menitipkannya kepada orang tua. Perjalanan hidup manusia sendiri sebenarnya selalu disertaiNya.
Saya jadi teringat suatu cerita yang pernah saya baca di masa kecilku. Cerita ini tentang seorang malaikat yang disuruh mengambil hidup seorang janda yang mempunyai dua anak bayi. Sang malaikat kasihan pada bayi-bayi yang akan kehilangan ibunya, sehingga menunda mengambil nyawa sang ibu. Akhirnya toh nyawa sang ibu harus kembali pada Sang Pencipta, sementara sang malaikat dihukum menjadi manusia untuk melihat bagaimana Allah akan menjaga anak-anak tersebut. Begitu kira-kira inti cerita yang kuingat.
Memang benar adalah manusia-manusia lainnya yang menjadi perpanjangan tangan Allah untuk menjaga ciptaanNya. Seorang ibu, bagaimanapun masalah yang menimpa, bila beriman kepada Allah maka ia akan mempercayakan masa depan diri dan keluarganya kepada Allah. Doa adalah satu cara, berusaha adalah pelengkapnya. Berputus asa dan mengakhiri kehidupannya sekeluarga bukanlah hal yang diinginkan Allah dari manusia. Seorang ibu diberi waktu selama sembilan bulan untuk merasakan karya penciptaan di dalam dirinya, merasakan kesulitan-kesulitan dalam hamil dan melahirkan untuk menjadi kuat dalam mendampingi titipanNya.
Satu hal yang mungkin dapat kita lakukan adalah memberdayakan perempuan. Seringkali anak perempuan harus mengalah dari anak laki-laki dalam hal kesempatan bersekolah. Memang anak laki-laki diharapkan menjadi penopang hidup keluarga. Ilmu serta keahlian yang diperolehnya diharapkan menjadi pemberi nafkah keluarga (terutama dalam masyarakat yang masih tinggi tingkat paternalistiknya). Tetapi ilmu dan keahlian yang diperoleh kaum perempuan sama pentingnya karena itu akan menjadi landasan utama pembentukan bibit-bibit bangsa. Orang yang terdekat dari anak-anak adalah kaum perempuan (dengan tidak mengurangi rasa hormat saya pada kaum bapak yang sungguh perduli pada keluarga).
Kesulitan hidup, masalah dengan suami dan berbagai macam masalah kehidupan yang harus dibarengi dengan pengasuhan anak seringkali menjadi hal yang sangat melelahkan, karena itu memperkuat landasan keimanan keluarga sangat penting. Kaum bapak yang beriman akan lebih memperhatikan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, kaum ibu yang beriman akan lebih taqwa dan tawakal dalam menghadapi kendala kehidupan, anak-anak akan lebih hormat kepada orang tua dan punya pegangan dalam masa-masa sulit perkembangannya. Surga ada di telapak kaki ibu, menjadikan kematian sebagai jalan keluar bukan menghadirkan surga bagi anak-anak!

3 komentar pada warta ini
Senin, 12-03-2007 09:23:30 oleh: ridwan
Saya juga menonton berita ini di televisi. Tapi meningkatkan iman saja seperti yang diusulkan Ibu Retty, apa cukup? Tidak cukup! Kalau perspektif Anda sedikit diputar balikan, menjadi seorang ibu dengan 4 anak dalam situasi yang miskin, saya yakin tidak begitu mudahnya menyarankan solusi ini soal beriman atau tidak. Kalau Anda pernah miskin, yang setiap hari berkutat dengan masalah: hari ini aku memberi makan apa pada anak-anakku, jerih mendengar tangis anak-anak yang kelaparan, tentu masalah bunuh diri hal yang sungguh dekat mengintip kita. Mungkin buat kita-kita yang cukup makan, tidak pusing soal makan apa hari, masalah bunuh diri menjadi tidak masuk akal. Tapi cobalah menjadi mereka yang miskin -- minimal berempati atau berinteraksi dengan mereka yang miskin. Di Gunung Kidul- Jogja, ada tradisi bunuh diri -- terutama ketika musim kemarau berkepanjangan yang berakibat kurangnya pangan. Mestinya pertanyaan yang diajukan : mengapa seseorang putus asa untuk mengambil keputusan bunuh diri? Jawaban kurang iman, adalah jawaban yang terlalu menggampangkan. Kita harus berani melihat lebih dalam, bahwa ada kebutuhan-kebutuhan dasar sebagian manusia yang tidak terpenuhi yaitu pangan, papan dan sandang. Solusinya,adalah bagaimana kebutuhan pokok itu dapat terpenuhi...Bagaimana sebuah masyarakat cepat tanggap pada tetangganya yang kekurangan dan bisa membantu memenuhi kebutuhan itu. Selama keadaannya masih begini2 saja, saya yakin masih akan ada peristiwa yang terulang. Dan itu lahir dari kantong kemiskinan.

Senin, 12-03-2007 11:52:25 oleh: retty
Saya tetap berprinsip keimanan harus kuat, coba saja tengok di bawah jembatan berapa banyak yang menggelandang dan mengemis tapi terus berusaha untuk mempertahankan kehidupan. Kemisikinan bagi orang yang terbiasa hidup berpunya itu lebih parah karena tingkat kebutuhannya yang lebih tinggi sehingga kalau dia tidak menyesuaikan diri tentunya berakibat fatal (lihat saja peristiwa artis muda yang terlibat pembunuhan). Benar bahwa akar permasalahan adalah kemiskinan. Tapi di negara yang pajaknya digunakan untuk tunjangan sosial hal bunuh diri atau menjadi gila ini juga terjadi, mengapa? Karena merasa tidak sanggup menahan penderitaan. Saya tidak akan menghakimi ibu-ibu tersebut, saya amat sangat maklum terhadap tekanan-tekanan yang harus mereka gumuli. Tapi, saya ingin menghimbau untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Saya yakin keimanan masih bisa menyelamatkan, setidaknya untuk tidak gelap mata. Sebagai sesama yang lebih beruntung dalam strata ekonomi, tentunya kita harus mensyukuri kelebihan yang dikaruniakan pada kita dan membagikannya pada yang membutuhkan. Ini juga diajarkan semua agama kan?!

Senin, 12-03-2007 14:16:16 oleh: Suhu Tan
Macan dikenal sebagai binatang buas yang paling ganas, tapi tak ada macan ( betina ) yang makan anaknya, dia malah menjilati lendir yang ada dibulu anak2 nya dan menjaganya sepanjang waktu dari gangguan / terkaman binatang buas/pemangsa lainnya. Ini terus dilakukannya selama hampir 1 tahun penuh. Manusia harusnya memang tidak ada yang lebih sadis dari macan. Hanya saja, manusia tidak memiliki kemampuan bertahan dari derita fisik maupun bathin sekuat macan. Makanya banyak yang sering frustasi berat dan menyerah dalam hidup, cari jalan pintas (bunuh diri, misalnya) dengan pemikiran seolah-olah dengan tindakan seperti itu maka semuanya akan menjadi selesai dan terbebaslah dari segala derita. Pemahaman iman yang kuat memang diperlukan untuk mencegah terjadinya hal demikian, tapi terkadang iman menjadi goyah dan rapuh bila doa dan sujut sdh terus2 an dipanjatkan namun derita demi derita terus saja bermunculan, doapun serasa jadi hampa seakan tak ada yang dengar. Hal2 seperti ini, sangat banyak terjadi, lho! Khususnya di akar rumput masyarakat kita ini. Sampai pada situasi yang demikian, rasanya iman saja memang tidak cukup, lho! Membenahinya, tak semudah kita bicara, ya, tho!

No comments: