Monday 26 March 2007

Taufiq Ismail Menangis Lagi, Sebuah Catatan Untuk Tinju.

Rabu, 21-03-2007 15:11:02 oleh: Retty N. Hakim Kanal: Peristiwa
Pada waktu Albert Papilaya memamerkan bungkusan besar uang pembayarannya kepada Chris John di berbagai media massa, saya sudah tergelitik ingin menulis artikel ini. Saat itu saya tiba-tiba teringat artikel pertama yang saya tulis untuk harian Kompas dan dikembalikan dengan alasan topik yang kurang aktual. Berhubung artikel ini memiliki nilai sejarah bagi saya, karena merupakan saat pertama saya berani menulis di luar surat kepada redaksi pada harian umum kelas nasional, maka saya masih bisa menemukan lembar-lembar yang sudah menguning ini di antara harta karun saya. Sayangnya saya belum berhasil menemukan klipping koran yang menjadi dasar penulisan artikel lama ini.
Hari ini saya sekali lagi tersentak membaca judul utama harian Warta Kota "Petinju Profesional Tewas". Saya ingin membagi sedikit keprihatinan Taufiq Ismail, sastrawan angkatan 66, yang dituangkannya dalam "Surat Tinju Untuk Dini dan Anita" yang dimuat harian Kompas 2 Oktober 1988 kepada pembaca wikimu.com.
"Kepala bukan saja kurang dihargai, tetapi secara publik dijadikan sasaran pukulan dan diusahakan digebuk sekeras mungkin. Otak, pusat kecendekiawan manusia yang dipasang Tuhan di bagian paling tinggi di tubuh kita, yang hanya dilapisi otot dan tulang yang sama tipisnya dengan kaset bajakan, digebrak dengan pukulan godam beruntun-runtun. Kepala yang semestinya dijaga baik-baik sebagai penghargaan kepada super-super komputer kita yang bernama otak, kini malah diintai, disergap lalu dibabat habis-habisan. Inilah penghinaan pada pusat intelek makhluk paling mulia di atas jagat raya ini.
Kepala mana yang mesti dihargai dan dijaga baik-baik? Semua kepala. Bukan kepala sepintar kepala Baharudin Habibie, Emil Salim, dan Andi Hakim Nasution saja, tapi juga kepala tamatan SD, kepala drop-out SMA, kepala penjaga es-krim, kepala penganggur, bahkan juga kepala idiot. Kemampuan kepala-kepala itu berlain-lain, tetapi penghargaan kita kepada kepala, sama sekali tidak berbeda."
Hanya sepenggal dari surat itu yang terekam dalam catatan saya, tapi setidaknya tujuannya untuk menggugah orang sudah terekam dalam memori komputer maha mulia saya. Surat Taufiq Ismail ini membuat saya tersadar betapa tinggi beliau menghargai pemberian Tuhan, dan betapa cinta beliau pada generasi muda bangsanya. Pandangan beliau tentang olah raga satu ini memang cukup keras, semuanya tertuang dalam sajak-sajaknya tentang tinju. Yang tercatat oleh saya adalah Lonceng Tinju (Kompas, 26 Februari 1987), Memuja Kepalan, Menghina Kepala (Kompas, 3 September 1988), Wahab Bahari, Tak Tahan Aku Menatap Sinar Matamu (Suara Pembaruan, 27 Februari 1989) serta sebuah puisi yang menggambarkan makan siang Don King yang berdarah-darah di New York (Suara Pembaruan, 25 Februari 1989).
Hari ini giliran Anis Dwi Mulya, petinju professional yang tewas selepas laga eliminasi Gelar Tinju Profesional Indosiar. Walaupun dalam keterangan kematian disebutkan bahwa penyakit Demam Berdarah yang menjadi penyebab kepergian petinju muda ini (26 tahun), tapi sebelumnya dia sempat menjalani operasi karena pendarahan epidural dan sub-dural di kepalanya. Kurang cermatnya pemeriksaan kesehatan sebelum pertandingan juga memungkinkan terjadinya pertandingan yang diakhiri dengan TKO ini. Dalam catatan harian Warta Kota, sepanjang perjalanan tahun 2000 - 2007 sudah 10 petinju yang meninggal dimana sebagian diantaranya adalah akibat cedera setelah bertanding.
Puisi dan tulisan Taufiq Ismail pada waktu itu mendapat berbagai kecaman keras. Memang banyak anak muda yang mungkin dipenuhi dengan mimpi untuk menjadi terkenal, kaya, pahlawan keluarga, dan pahlawan bangsa melalui kegiatan ini. Jadi menurut pandangan saya tampaknya sah-sah saja kekhawatiran satrawan yang juga punya nama samaran Ibnu Fadjar ini. Beliau mengeluhkan impian anak-anak muda yang beresiko kematian dan setelah itu terlupakan. Resiko yang tampaknya masih menjadi pilihan banyak pemuda saat ini.
Saya kembali teringat pada kisah tenar The Champ karya Richard Woodley yang diangkat ke layar putih. Saat kelam dan pahit terasa tatkala T.J. sang anak meratap memohon pertolongan Tuhan untuk menghidupkan kembali ayahnya, memanggil sang juara (Champ) untuk tidak meninggalkannya. Saya menangis menonton film tersebut, saya yakin hari ini Taufiq Ismail juga ikut menangis lagi!

No comments: