Jumat, 09-03-2007 09:31:31 oleh: Retty N. Hakim Kanal: Gaya Hidup
Ternyata ajakan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar tidak semenarik artikel ajakan untuk mengalahkan kemarahan. Entah apa karena situasi dan kondisi (hampir saya tulis sikon) sekarang ini yang membuat kita lebih sering berjuang menahan kemarahan, atau karena merasa sebagai orang Indonesia kita sudah pandai berbahasa Indonesia. Artikel pertama saya kurang dikunjungi, apalagi dikomentari...
Perhatian orang asing terhadap bahasa kita seringkali jauh lebih tinggi daripada perhatian kita sendiri. Coba, apa kata dalam bahasa Indonesia yang dimulai dengan huruf X? Menyerah? Carilah di kamus! Ada? Memang tidak ada, ternyata dalam bahasa Indonesia tidak ada kata yang dimulai dengan huruf X. Hal ini baru menjadi perhatian saya setelah diangkat dalam tulisan Sue Potter di Newsletter (Februari 2007) dari Indonesian Heritage Society. Untuk sementara waktu organisasi nirlaba yang anggotanya kebanyakan orang asing ini memang membuat kolom "An Indonesian ABC". Isinya memang bermacam-macam, dari kebudayaan sampai bahasa.
Kebetulan edisi Maret ini Sue Potter mengangkat tema huruf Y, judulnya "Y is for...Yth."
Dia membahas kesenangan kita membuat singkatan, baik dari akronim (seperti ABRI) atau istilah baru yang berasal dari menyingkat (misalnya Telkom). Walaupun dia juga membuat kesalahan (atau salah ketik?!) dengan menuliskan kata kendari untuk kendali ketika dia mengisahkan asal kata rudal (peluru kendali), tapi tulisannya cukup menarik sebagai masukan bagi kita. Dia mengutip dari buku The Indonesian Language (UNSW Press, 2003) dimana James Sneddon mengutarakan betapa beberapa penulis Indonesia seringkali melupakan bahwa kata bandara itu adalah singkatan dari bandar udara, sehingga tidak jarang dia menemukan penulis yang menuliskan kata "bandara udara".
Demikian juga halnya dengan akronim, berapa banyak dari kita yang masih ingat kepanjangan BP7 atau P4? Menurut artikel ini, kebanyakan orang hanya mengingat bahwa ini berhubungan dengan Pancasila. Benarkah? Saya sendiri hanya ingat kepanjangan P4, tidak ingat lagi kepanjangan dari BP7. Mungkin juga karena kedua institusi ini sudah tidak bergigi lagi, bagaimana dengan yang lebih baru seperti nama partai? Mungkin tidak ya orang lupa kepanjangan dari Golkar, PPP, PDI-P, PDI, PKS, PDS, dan berbagai nama singkatan lainnya? Saya sendiri jadi sibuk mengingat-ingat kepanjangan dari Pertamina, benar tidak ya ini singkatan dari Perusahaan Minyak Negara?
Masalah singkatan ini rupanya cukup penting bagi komunitas orang asing sehingga harian Jakarta Post secara online mengeluarkan daftar singkatan yang popular di Indonesia. Daftar ini (katanya) kalau di cetak bisa sampai 22 halaman.
Itu mungkin baru singkatan dalam bahasa Indonesia ya, belum lagi singkatan modern yang dipengaruhi oleh teknologi sms dan internet. Buat yang mengerti arti snafu and lol, boleh juga cerita sedikit di wikimu. Tks (katanya berarti ganda: ThanKS, atau Terima KaSih)...
(Terinspirasi oleh tulisan Sue Potter "Y is for ... Yth.")
Jumat, 09-03-2007 10:04:59 oleh: Imamedy
Tergelitik juga saya untuk mengomentari kolom Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Retty N. Hakim. Terus terang saja minat mempelajari bahasa asing lebih menggebu-gebu dibandingkan bahasa sendiri yang taken for granted. Sebelum lebih jauh mengomentari tulisan tersebut, diakui maupun tidak, Retty sendiri sudah terpengaruh dalam gaya berbahasanya. Coba saja, mana orang Indonesia yang menuliskan singkatan nama seperti Retty N. Hakim. Kebiasaan orang Indonesia menulis singkatan nama di belakang atau di depan. Jadi , biasanya RN. Hakim atau Retty N....H. (contoh AH. Nasution).Itulah yang terjadi karena gaya, snobbish atau karena tuntutan kehidupan pergaulan dengan orang asing dsb. Apalagi kalau berbahasa asing menjadi nilai tambah dalam mendapatkan gaji, maka orang akan berlomba mengejarnya tanpa berpikir bagaimana harus melestarikan dan bangga dengan bahasa sendiri. Tapi jangan berkecil hati, presiden kita juga sering menuliskan namanya Susilo B. Yudhoyono.(too much exposure abroad?). Tentang tidak adanya X , pada awal kata bahasa Indonesia, saya kira tak harus dipaksakan. Bahasa akan tumbuh dan berkembang selaras dengan perkembangan jamannya. Setiap masa ada gaya bahasanya, dan setiap gaya bahasa ada masanya. Kalau kurang yakin, buka saja berbagai novel di zaman Marah rusli dan bandingkan dengan novel Marga T atau Arswendo. Akronim yang katanya dari ABRI, sebenarnya berlaku cukup universal. Gama untuk menyingkat Universitas Gadjah Mada, demikian pula Unpad, Unsoed maupun Indosat sebagai contoh. Di luar negeri, hal ini juga lumrah. Bahkan sebuah kata baru terbentuk dari akronim , misalnya INTEROPERABILITY yang berasal dari kata Inter (exchange), Operate dan Ability menjadi arti the ability to exchange or use difference information or equipment. Jadi, kalau penggunaan akronim Warteg dan Wartel bisa diterima di masyarakat, maka menurut saya sah-sah saja munculnya berbagai jenis kata baru. Selamat berbahasa Indonesia yang benar dan menarik. Sukses selalu.
Jumat, 09-03-2007 14:07:10 oleh: Retty N. Hakim
Kalau soal menyingkat nama, terus terang saya tidak memperhatikan kalau ini kebiasaan asing...mungkin juga terpengaruh. Tapi Retty itu cuma nama panggilan, terus N itu singkatan dari nama keluarga (dari orang tua) saya. nama keluarga Hakim itu cuma menunjukkan kalau saya sekarang Ibu Hakim (tanpa belajar hukum)...maksudnya nama keluarga suami(nggak laku untuk passport, tapi untuk nunjukin masih ikut suami...he..he..he..). Jadi kalau cari di KTP saya yang ketemu cuma N. itu saja (dari dulu disingkat oleh kelurahan, mungkin karena nama saya kepanjangan). Ternyata menyingkat nama itu juga ada gayanya ya? Terima kasih lho infonya...
3 comments:
Hello Retty... (Sesuai permintaan hanya saya tulis nama depannya lho, padahal Duh aku repot kalau menulis tanpa mbak, bu, zus atau tante,
ada rasa sepertinya aku kurang sopan gitu.. Payah jadi orang Jawa..)
Terimakasih sudah masuk kedalam blogger saya. Sebelum ada Wikimu memang saya corat-coret disana.
Soal sketsa, oh itu bukan saya yang melukis melainkan saya ambil dari buku pelatihan survival dalam air. Dengan banyaknya kecelakaan, daripada kita menghujat kesana kemari (sudah banyak kan yang yang mengerjakannya), maka lebih baik saya sedikit membagi ilmunya.
Dalam gambar tersebut maksudnya agar kalau berada dilaut, jangan melakukan gerakan sedikitpun. Tetap diam sampai pertolongan datang. Instink kita kan biasanya kalap, teriak-teriak, kalau di bumi (gedruk-gedruk bumi). Dan sikap ini merugikan lantaran energi cepat terkuras, yang akhirnya kita lelah.
Sketsa yang lain adalah sebisanya usahakan saling bergandengan,
agar bisa saling menghangatkan badan, dan terutama saling membesarkan hati sesama teman.
Best regards,
Mimbar.Saputro
Wah, mbak Retty...nggak tahunya komentarku tahun lalu ada di Blog juga.
Selamat deh bisa pelihara blog, aku punya juga tapi sengaja nggak pernah ngajak orang menengok karena sifatnya sangat campur bawur,...hehehhe...hheheh
He...he...he...yang awal-awal komentar masih saya masukin, belakangan sudah agak males!
Lagi pula komentarnya menarik saya untuk bikin artikel pribadi...sama deh campur aduk juga...susah buat fokus...namanya orang hidup masalah sambung menyambung menjadi satu.
Terima kasih sudah menengok blog saya, jangan kapok berkunjung dan komentar ya...
Post a Comment