Monday 26 March 2007

Selamatkan Sejarah Panjang Bioskop Megaria!

Selasa, 20-03-2007 14:21:34 oleh: Retty N. Hakim Kanal: Layanan Publik
Setiap orang, umumnya, selalu ingin mempunyai keterkaitan dengan masa lalu. Orang tak mau kehilangan "akar sejarah" dirinya. Tak heran bila segala sesuatu yang terkait dengan masa lalu, selalu menarik perhatian masyarakat. Begitu juga dengan Bioskop Megaria yang terletak di pertigaan Jalan Cikini Raya, Jalan Diponegoro, dan Jalan Proklamasi, di Jakarta Pusat.

Heboh berita penawaran penjualan bangunan Bioskop Megaria di Jakarta Pusat, membangkitkan perhatian banyak kalangan pada bangunan tua ini. Setelah kehilangan Stadion Menteng yang letaknya tak terlalu jauh dari Megaria, rupanya masyarakat takut hal yang sama akan terulang pada Megaria.
Megaria ini bagaikan nenek tua yang duduk di kursi goyang di sudut ruangan. Setiap hari orang lalu lalang melewati dan terbiasa melihatnya di sana. Terkadang orang mampir sebentar tapi tidak punya cukup waktu untuk bercakap-cakap mengenalnya. Ternyata bila kita mencoba mengenalnya cukup banyak kisah yang bisa diberikannya.
Dari segi arsitektur misalnya. Bangunan Bioskop Megaria merupakan salah satu data sejarah perkembangan arsitektur di Tanah Air. Dari catatan yang ada, pada akhir abad ke-19 mulai terjadi perubahan di dalam dunia arsitektur. Tersedianya berbagai ragam bahan bangunan baru seperti semen, kaca, besi, dan baja, disertai dengan peningkatan teknik-teknik konstruksi telah melahirkan gerakan-gerakan baru dalam dunia arsitektur. Perkembangan industri mesin serta gejolak-gejolak politik juga bisa ditelusuri di dalam perkembangan arsitektur dunia.
Sejak tahun 1920 berkembang perancangan bangunan yang tampil sederhana dan lebih mengarah ke fungsi bangunan. Tampilan arsitektural ini kemudian dikenal nama International Style. Selanjutnya, pada suatu pameran di New York pada tahun 1932, berbagai macam aliran perancangan arsitektur dirangkum dalam satu istilah yakni "Arsitektur Modern", klasifikasi yang banyak ditujukan pada bangunan dalam periode tahun 1920 sampai 1970.
Salah satu gaya yang mempengaruhi International Style adalah gaya De Stijl dari Belanda. De Stijl sendiri berasal dari nama sebuah majalah seni yang didirikan oleh Theo van Doesburg, seorang pelukis yang terkadang juga merancang bangunan (arsitek). Aliran idealis yang mengarah pada gaya kolektif dan universal ini banyak menggunakan garis-garis lurus (vertikal maupun horisontal), dengan bentuk-bentuk dasar dan juga warna-warna dasar sebagai elemennya. Elemen dekoratif bukan bagian dari gerakan yang menekankan kebutuhan praktis, fungsional dan ekonomis dari sebuah bangunan. Warna yang digunakan bukan sebagai elemen dekoratif, melainkan sebagai media ekspresi diri.
Van Doesburg sendiri dalam sebuah artikel yang diterbitkan majalah De Stijl pada tahun 1924 (Van Doesburg Manifesto) mengorientasikan diri sebagai aliran arsitektur yang plastis yang mencoba menciptakan keseimbangan harmonis dari bangunan dengan pendekatan empat dimensi (bukan hanya pendekatan ruang, tapi juga pendekatan waktu). Semua pertimbangan dalam perancangan perlu dikaji berdasarkan pertimbangan praktis dan logika dengan mengedepankan keseimbangan karakteristik fungsional bangunan.
Tampaknya Bioskop Megaria yang dirancang oleh Han Groenewegen (lahir di Den Haag 1888, meninggal di Jakarta 1980) banyak berorientasi pada aliran De Stijl seperti tampak pada menara menjulang yang merupakan salah satu ciri khas De Stijl, dengan permainan garis horisontal dan vertikal sebagai bagian dari ekspresi bangunan. Bangunan model ini biasanya dirancang dalam empat tampak, yaitu tampak depan, samping kiri dan kanan, serta tampak belakang, dan tidak seperti gaya bangunan frontal yang lebih mengutamakan tampak depan.

Sejarah Film
Selain dari segi arsitektur, Megaria juga merupakan salah satu bukti sejarah perfilman di Indonesia. Bioskop itu memang bukan bangunan bioskop pertama atau tertua di Tanah Air, namun paling tidak bisa dikatakan Megarian adalah bioskop tua dan bersejarah yang masih bertahan sampai sekarang. Lainnya, sudah "tertelan zaman", dirubuhkan, atau hancur sendiri, dan berganti bentuk.
Bioskop itu juga memegang peranan penting saat penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) untuk pertama kalinya pada akhir Maret sampai pertengahan April 1955. Bioskop yang ketika itu masih bernama Metropole merupakan salah satu bioskop yang ikut memutar film-film peserta FFI.
Hebatnya bukan hanya sekadar memutar film peserta FFI. Namun pada keberanian pemilik bioskop yang berani "memotong" kontrak. Sebenarnya Metropole telah terikat kontrak untuk (hanya) memutar film-film dari MGM, Amerika Serikat. Namun, saat berlangsungnya FFI, Bioskop Metropole ikut memutar film Indonesia berjudul Krisis. Film itu laris luar biasa. Selama sekitar lima minggu, penonton antre setiap hari di depan pintu loket Bioskop Metropole untuk menonton Krisis.
Bioskop itu memang menjadi bioskop utama di Jakarta pada 1950-an sampai awal 1980-an. Tak heran, film apa pun yang diputar di situ, selalu laku keras. Soal pendiriannya memang belum jelas. Ada yang mengatakan bioskop itu kabarnya diresmikan oleh Wakil Presiden RI, Mohammad Hatta, pada 1949. Rumah Hatta di Jalan Diponegoro memang hanya sekitar 3 menit berjalan kaki ke bioskop itu.
Ada lagi sumber lain yang mengatakan Bioskop Metropole diresmikan pada tahun 1951. Saat diresmikan, tercatat kapasitas tempat duduk mencapai 1.700 orang. Lalu di bioskop bertingkat tiga itu, ada pula bagian untuk ruang dansa. Mungkin ruang dansa itulah yang kini menjadi tempat bermain biliar.
Di gedung bioskop itu juga pernah diadakan rapat penting yang akhirnya melahirkan persatuan bioskop secara nasional. Organisasi itu kemudian dinamakan Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI). Nama Metropole kemudian berubah menjadi Megaria, saat Presiden Soekarno muncul dengan "instruksi"nya untuk mengubah nama-nama asing menjadi nama yang berbau Indonesia. Maka Metropole pun berubah menjadi Megaria.

Cagar Budaya
Sejarah panjang Bioskop Megaria itu agaknya yang juga menjadi dasar Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475/1993 tentang Bangunan Cagar Budaya. Tercatat ada lebih dari 200 bangunan bersejarah yang dilindungi, termasuk Bioskop Megaria.
Peraturan itu, menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, Aurora Tambunan, mengharuskan siapa pun pemilik Bioskop Megaria, maka bangunan utama bioskop yang kabarnya sedang ditawarkan untuk dijual itu, tak boleh diubah bentuknya. Bangunan pelengkap lain boleh saja dihancurkan atau diubah, tetapi bangunan utamanya harus tetap sama seperti sediakala.
Dalam perkembangannya kemudian, bangunan bioskop itu juga menjadi "saksi bisu" beberapa peristiwa penting yang terjadi belakangan. Lokasinya yang sangat strategis di pusat kota, menjadikan halaman bioskop itu menjadi salah tempat berkumpulnya mahasiswa dalam gerakan reformasi menumbangkan Orde Baru. Sebelumnya, ketika terjadinya penyerbuan gedung PDI di Jalan Diponegoro pada 1996, halaman bioskop itu juga menjadi tempat banyak orang berkumpul.
Itulah sebabnya, dari segi pembangunan kota, yang perlu dijaga bukan sekedar bangunan fisik Megaria, tetapi juga secara kontekstual dengan lingkungannya. Megaria saat ini masih bisa menjadi landmark lingkungannya, tetapi sedikit perubahan kebijaksanaan pemerintah terhadap fasilitas umum di depannya (misalnya pembangunan jalan layang) akan menghancurkan keberadaan Megaria sebagai landmark.
Jadi penyelamatan Megaria bukan semata-mata terletak di tangan investor barunya. Pemerintah dan warga kota Jakarta, juga turut berperan.
Mari selamatkan Megaria!

(dari berbagai sumber disarikan kembali oleh Retty N.Hakim dan Berthold Sinaulan, foto oleh Bajoe)

6 komentar pada warta ini
Selasa, 20-03-2007 14:55:32 oleh: Berthold Sinaulan
Ini contoh tulisan kolaborasi antara Retty, Bayu, dan saya. Hal lain yang juga penting, mudah-mudahan data-data yang kami tambahkan ada gunanya juga untuk memperkaya wawasan pembaca Wikimu. Terima kasih.

Selasa, 20-03-2007 18:20:06 oleh: Melani
Selamat buat kolaborasinya. Ternyata di Wikimu bisa terjadi juga ya :) Benar-benar jadi tambah pengetahuan. Trima kasih buat jerih payahnya. Mas Bayu, katanya ga boleh foto di Megaria, kok fotonya komplit ya...

Selasa, 20-03-2007 19:27:07 oleh: Retty
Malah dapat tampak belakang...Ini baru namanya pejuang...nggak mudah putus asa! Maaf ya udah ngerjain mas Bayu untuk bolak balik ke Megaria. Interior nggak dapat ya Mas? He..he..he...sekali lagi maaf lho! Terima kasih juga buat Bang Berthold yang selain ikut nulis juga sekaligus mengedit tulisan saya. Ini termasuk hal ajaib buat saya, bisa kolaborasi tanpa pernah tahu persis wajah orang yang namanya Bajoe, dan sudah lebih dari sepuluh tahun nggak ketemu Bang Berthold. Kerja kelompoknya hanya lewat e-mail dan telpon, memang bisa-bisanya kita!

Selasa, 20-03-2007 19:43:50 oleh: Wicaksono
Tulisan ini membuat saya mlongo karena dua hal. Pertama karena kajiannya yang merambah ke mana-mana. Dan kedua, karena ternyata tulisan ini hasil kolaborasi tiga orang. Ck...ck...ck. Kagum! Bisa sering-sering nggak ya ... :D

Selasa, 20-03-2007 19:47:51 oleh: ndoro kakung
saya juga punya posting soal megaria loh ... :D

Rabu, 21-03-2007 09:33:53 oleh: Berthold Sinaulan
Megaria cuma satu contoh betapa kita memang belum mampu menghargai lingkungan kita. Bukan begitu? Selain itu, ayo, ayo, siapa lagi yang mau berkolaborasi bikin tulisan bareng. Saya sih kalau ada yang ngajak lagi mau saja. BTW, Mas Bayu a.k.a Bajoe, fotonya ganti dong yang kelihatan wajahnya, biar Retty bisa tahu wajahnya Bayu.

No comments: