Senin, 19-03-2007 07:39:46 oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Opini
Kemarin saya ke Jakarta naik bis feeder (waduh bagaimana mau berbahasa Indonesia yang baik...kita diajarkan membahasakan dengan feeder atau shuttle bus) dan dilanjutkan dengan busway.
Yang menarik perhatian saya ketika naik busway ada seorang ibu yang kemungkinan anaknya Down Syndrome, anak itu sedang menangis menggerung-gerung...semua orang memperhatikan dengan berbagai macam ekspresi. Ada ekspresi menyalahkan (aduh diemin dong tuh anak!), ada ekspresi takut (jauh-jauh dikit dari saya deh...), ada ekspresi kasihan (wah kasihan amat anak ini). Anak itu belum bisa bicara, walaupun dari fisiknya terlihat setidaknya sudah berumur lima tahun. Dia tidak autis karena dia bisa berkomunikasi dengan ibunya dengan mata dan suara ah uh...ah uh.
Kemudian kondektur datang menyarankan agar anak itu disuruh melihat keluar supaya bisa diam, alasannya kasihan anak ibu itu ketakutan (padahal mungkin juga kondektur tidak enak pada penumpang lain yang jadi stress mendengar tangisan anak itu). Setelah diberi makanan dan disuruh menghadap ke jalan (dengan berdiri di kursi) anak itu memang jauh lebih tenang. Hebatnya sang ibu begitu tenang, tidak ada gejala malu ataupun menekan anaknya. Hanya sekali dia tampak sedikit agak keras ketika sang anak menolak dibujuk, tapi bagi saya itu masih reaksi yang amat sabar.
Saya membayangkan diri saya sendiri dengan anak-anak yang normal, kalau mereka ribut di bus...wah malunya seperti apa, dan pasti sudah marah-marah pada anak-anak. Ketenangan ibu ini mengingatkan aku pada kisah Mercy yang bunuh diri dengan membawa anak-anaknya juga (4 anak sekaligus). Ibu yang naik bis ini tampak sederhana (terlihat dari pakaian, sepatu dan tasnya) terlihat begitu tabah membesarkan anaknya yang bermasalah. Sementara Mercy karena putus asa dengan kondisi keuangan (uang sekolah anak dan uang cuci darah) dan masalah dengan suami, bukan mencoba mencari pertolongan dari lingkungan keluarga atau teman-temannya malah mengambil jalan pintas!
Kalau saya bandingkan dengan kondisi keponakan saya yang autistik, dimana dia memperoleh kemudahan-kemudahan untuk bersekolah (khusus) dan mobil untuk transportasi, maka tentunya kondisi anak Down Syndrome tadi sangat menyedihkan. Anak itu lebih komunikatif, tapi dia memiliki cacat-cacat khas anak Down Syndrome, seperti terlihat pada wajah yang agak aneh dan cacat pada tangan dan kaki (sedikit bengkok). Kalau dipikir-pikir masih amat banyak masalah-masalah yang sangat berat di sekitar kita.
Seringkali Allah memberi kita jalan dan kemudahan dalam masalah yang berbeda. Dalam hal keponakan saya, orang tuanya diberi kemurahan rezeki. Dalam hal anak di bus tadi, ibunya diberi ketabahan dan kebesaran hati yang amat besar. Semoga Allah terus menguatkan semua orang dalam berbagai macam pergumulan dan cobaan yang mereka terima. Toh Allah menjanjikan bahwa beban yang kita pikul tidak akan melebihi kemampuan kita memikulnya, dan kalaupun itu berat sekali Dia senantiasa ada untuk membantu kita memikulnya.
Ada sebuah kisah yang mungkin bisa menguatkan. Dalam tabloid Gaya Hidup Sehat ada artikel tentang Hee Ah Lee, gadis berjari empat (lobster claw syndrome) yang mampu memainkan komposisi-komposisi klasik. Gadis yang terlahir sebagai anak Down Syndrome tanpa kaki ini bahkan bisa berduet dengan pianis pujaannya (pujaan saya juga), Richard Clayderman. Saya membayangkan bagaimana cara anak ini dengan segala keterbatasan fisik dan intelektualnya bisa memainkan komposisi Chopin yang rumit. Saya sendiri yang sempurna dan sehat gagal meneruskan les piano hanya karena bosan dan kesulitan konsentrasi dalam mempelajari not-not balok. Addie MS, konduktor Twilite Orchestra, mengomentari bahwa kemampuan gadis Korea Selatan ini memainkan tuts dan pedal piano merupakan jasa besar dari ibu dan guru pianonya. Sang ibu terus mendukung dan membesarkan hati anaknya sehingga mampu memaksimalkan semua potensi yang dimilikinya. Selain piano khusus yang memungkinkan Hee Ah Lee memainkan pedal tanpa menggunakan kaki, maka permainan pianonya juga sangat tergantung pada partitur khusus yang dibuatkan oleh guru pianonya. Kasih dan kesabaran sang bunda dan sang guru piano kini sudah membuahkan hasil, suatu hal yang tampaknya tidak mungkin ternyata bisa terlaksana! Ketekunan, kesabaran, dan kasih sang ibu menjadi bukti kebesaran hatinya.
Mungkin kita yang diminta Allah menjadi ibu (atau bapak) yang berhati besar itu, mungkin juga kita diminta Allah untuk memberi perhatian kepada orang lain dan menguatkan mereka yang merasa tidak kuat. Apapun itu, percayalah bahwa kita tidak pernah sendiri!
2 comments:
tapi belajar ikhlas dan sabar itu hal yang ga mudah, terkadang setelah ada niatan berbuat sabar tetap jg ad rintangan yang menghadang, n mengujix smpe ke ambang batas....yg brakhir penyesalan!!!
Benar sekali, belajar ikhlas dan sabar...serta proporsional dalam menerapkan disiplin.
Sebenarnya semua ibu diberi pengalaman ini, hanya kadar cobaan untuk mereka yang memiliki anak yang istimewa lebih besar.
Post a Comment