Saturday, 3 March 2007

Hidup Untuk Makan Atau Makan Untuk Hidup?

Sabtu, 03-03-2007 07:20:00 oleh: Retty N. Hakim Kanal: Gaya Hidup

Katanya pria itu dari Mars dan wanita itu dari Venus, tapi sepertinya bukan teori ini yang melatar belakangi perbedaan pandangan saya dan suami soal makan. Bagi dia, hidup untuk makan. Bagi saya, makan untuk hidup. Setidak-tidaknya orang makan kan memang untuk hidup...iya kan?! Bukan karena saya ingin bergabung dengan model-model bulimia atau anorexia, sama sekali tidak! Tapi bagi saya teori hidup untuk makan itu sepertinya kita hanya memikirkan makanan melulu, memikirkan kepuasan diri sendiri sementara masih ada orang lain yang tidak bisa makan. Atau mungkin juga karena saya terbiasa terburu-buru, punya terlalu banyak hobby, sehingga makan jadi sesuatu yang tidak utama. Memang, kalau lagi baca buku rasanya nggak makan juga nggak masalah! Jadi makan sekedar supaya tidak sakit maag saja!
Beda dengan suami saya, buat dia hidup itu harus dinikmati, antara lain melalui makan. Kecepatan makan kami tidak jauh berbeda (sama-sama suka gerak cepat ha..ha..ha..) tapi pilihan makanan, rasa makanan, dan tempat juga bisa berpengaruh buat dia. Sementara saya kalau diajak makan di luar konsisten dengan jawaban "terserah..." Ini bagusnya peraturan alam ...yang negatif ketemu positif, jadi tidak keduanya ngotot ngidam tempat makan yang berbeda. Kejelekannya, saya jadi tidak terbiasa mencoba makanan baru sehingga akhirnya jadi tidak menyenangkan untuk diajak makan keluar. Maklum juga sih, siapa suka makan sambil ditonton?
Tapi mungkin juga teori makan untuk hidup yang membuat saya bisa mencicipi bekicot yang saat saya makan bernama keren escargot. Ceritanya sepupu saya pacaran dengan cowo Perancis, dan dia dengan usilnya sengaja meminta calon ibu mertuanya menyiapkan makanan keren ini untuk tamu-tamu dari Indonesia. Alasannya, orang Indonesia penasaran seperti apa rasa escargot yang berasal dari tanah air tercinta. Ingin menjadi tuan rumah yang baik, tentu saja kami disediakan makanan utama escargot (yang termasuk makanan mewah disana). Bayangkan makan a la Perancis dengan menu utama (the one and only...) escargot!! Sepupu saya sudah bersiap-siap menunggu reaksi saya. Tapi sebagai tamu Indonesia yang manis dan sopan, tiga ekor escargot sukses tertelan selama tiga jam makan malam tersebut. Lalu dengan sopan menolak menambah dengan alasan kenyang... padahal... (keroncongan, dan dalam hati ngedumelin sepupuku karena kerang saja nggak pernah mampir ke perutku!).
Sepuluh tahun hidup dengan orang yang bermotto "hidup untuk makan" mau tidak mau sedikit mempengaruhi motto "makan untuk hidup" ku. Tapi kalau dipikir-pikir memang seharusnya ada keseimbangan antara keduanya...toh hidup bukan hanya untuk makan, dan makan bukan hanya untuk hidup!



Sabtu, 03-03-2007 08:36:08 oleh: Mimbar Saputro
Ibu Hakim.. Kalau saya lebih sreg dengan "Makan Untuk meng(HIDUP)kan." Pasalnya kalau di rumah sudah ada makanan berbau legenda dan mithos, seperti tongseng atau sate embek, itu semacam bahasa sandi, harus ada yang di"hidup"kan sebagai tindak lanjutnya - masalahnya saya keledai yang sama selama 27tahun, kadang kan ada aja busi yang tersumbat. Mungkin lantaran itu perlu makanan khusus.

Sabtu, 03-03-2007 12:52:10 oleh: Gen Chairun
kalo menurut saya hidup untuk makan adalah perbuatan yang sia-sia, bagaimana mungkin hidup kita hanya didedikasikan buat makan,makan dan makan wah bisa obesitas nih! tapi kalo makan untuk hidup merupakan sebuah upaya survival bagi manusia dimana kita makan untuk mempertahankan kehidupan dan melanjutkan aktifitas.

Sabtu, 03-03-2007 12:57:04 oleh: Retty
Waduh...jangan kayak lagi di pengadilan akh...Retty saja cukup! Ternyata filosofi makan itu bisa sangat mendalam ya...Bisa sebagai bahasa sandi juga toh?! Berarti makan itu memang bukan untuk sekedar hidup ya!

No comments: