Kamis, 08-05-2008 13:51:08 oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Peristiwa
Kompetisi blog dari British Council sudah dimulai sejak bulan April kemarin, topik dalam bulan pertama adalah Dialog Antar Budaya (Intercultural Dialogue). Seharusnya batas waktu penulisan topik ini di blog hanya sampai tanggal 6 Mei 2008. Rupanya banyak juga blogger yang masih bingung bagaimana caranya mengikuti kompetisi ini sehingga tenggat waktu kompetisi topik pertama diperpanjang sampai tanggal 11 Mei 2008. Berhubung masih ada waktu, yuk cepat ikutan juga...
Sebenarnya menarik sekali untuk berbicara tentang "Dialog Antar Budaya", terutama karena dunia yang semakin global, terutama dengan kehadiran internet ini, membuat percakapan yang tidak terbatas lagi. Dalam portal pewarta warga sangat jelas terlihat betapa banyak pemikiran berbeda yang bisa timbul, betapa banyak kesalahan persepsi yang mungkin muncul. Terkadang hal itu muncul dari pilihan kata, atau kebiasaan berpikir, atau mungkin bahkan dari ketidaktahuan.
Ada empat tujuan yang ingin dicapai British Council dalam program-program yang bersinggungan dengan Dialog Antar Budaya:
1. Memperkuat pemahaman dan tingkat kepercayaan antara masyarakat dari UK dengan masyarakat lainnya.
2. Memperkuat konsensus untuk menolak semua bentuk ekstrimisme.
3. Meningkatkan kemampuan individu-individu dan organisasi dalam menyumbangkan perubahan sosial yang positif dan memperkuat masyarakat sipil.
4. Meningkatkan penggunaan bahasa Inggris sebagai alat untuk komunikasi internasional dan pemahaman antar budaya.
Ayo wikimuers yang punya blog, jangan lupa ikutan bagi-bagi suara...(ingat daftar dulu di http://bcnow60.org/blogging-competition/). Bisa dalam bahasa Indonesia, bisa dalam bahasa Inggris, selain topik ini masih ada dua topik menarik lainnya yang akan dibicarakan dalam dua bulan mendatang. Ayo gaungkan suara!
Buah pena or fruit of the pen was started as an online diary of a citizen reporter. Time goes by, and I think being just a blogger is nicer than being a citizen reporter. Yet, it is important to keep a balancing diary. Online diary is kind of reporting too. So, I keep on doing my self experiment on living in the cyber space.
Showing posts with label bahasa. Show all posts
Showing posts with label bahasa. Show all posts
Saturday, 10 May 2008
Saturday, 17 March 2007
Perlukah RUU Bahasa?
Jumat, 16-03-2007 08:21:22 oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Opini
Pada harian Kompas hari Minggu, 11 Maret 2007, ada tulisan dari Ariel Heryanto dalam kolom Asal Usul berjudul "RUU Bahasa". Tulisan ini sangat menarik untuk disimak karena secara jelas mengutip pencampuran penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris oleh harian papan atas maupun oleh sastrawan Indonesia. Dalam bahasa sehari-hari tentu saja kita sangat dekat dengan penggunaan gaya bahasa yang populer. Yang terpopuler saat ini rupanya memang mencampurkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Contoh lain yang saya dapatkan ada pada majalah "get connected to network!" (terbitan PT MNI Global). Dari judul majalah mungkin kita bisa berpikir ini majalah berbahasa asing, tapi di dalamnya ternyata berbahasa gado-gado! Bahkan dalam tulisan sang editor pun penuh dengan pencampuran pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Saya kutipkan sedikit:" Last but not least, saya ingin mengucapkan terimakasih untuk semua pihak yang membantu MNC Peduli dalam rangka membantu korban banjir di Jakarta, para medis, relawan,tim keamanan, teman teman pegawai MNC grup, seluruh sponsor yang bersedia menyumbang makanan,obat obatan,minuman serta alat komunikasi, all my beloved celebrities...plus handful of wonderful artist & talent managers yang membantu menghibur warga Jakarta. You have all such a wonderful heart." Kecuali nama-nama yang disebutkan (diganti dengan ...) maka semua tulisan di atas saya kutip persis seperti aslinya. Jadi penulisan terimakasih, maupun ketiadaan spasi, serta bahasa Inggris yang digunakan adalah hasil akhir yang diterima di tangan pembaca.
Di tempat lain (baca: di lampu merah), ada lagi judul-judul berita yang cukup seram dengan bahasa yang jelas-jelas tidak terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, entah ini dari bahasa daerah atau hanya bahasa tutur lisan biasa. Karena kata-kata yang digunakan sungguh tidak sopan, maka saya tidak akan membahasnya disini.
Saya tidak secara khusus meneliti beberapa harian maupun majalah dalam topik penggunaan bahasa yang baik dan benar, tapi fenomena ini memang menarik. Bahkan bagi jurnalisme publik seperti wikimu.com hal seperti ini mungkin perlu juga menjadi perhatian. Melalui beberapa kali kunjungan ke Panyingkul.com, sebuah jurnalisme publik lokal dari Makassar, saya lihat penggunaan bahasa Indonesia yang baik sangat diperhatikan oleh kontributornya (mungkin juga yang kurang baik belum terbaca). Tentu saja untuk penulisan komentar cukup bebas, bahkan boleh menggunakan bahasa daerah.
Di wikimu.com saya pernah menemukan komentar yang akan terbaca ajaib bagi pembaca yang tidak mengerti bahasa (Inggris) teknik. Pada waktu itu saya cuma membatin kenapa tidak sekalian berbahasa Inggris sih?! Tapi, namanya komentar tentunya sudah menjadi hak bebas komentator. Hanya, bagi sebuah artikel dalam konteks jurnalisme sebaiknya terus berada dalam rambu-rambu bahasa yang benar. Dari pengamatan sekilas, saya melihat adanya kecenderungan pembaca wikimu untuk menyukai gaya bahasa yang ringan, luwes, dan populer.
Bagaimana agar usaha menggunakan gaya bahasa yang populer dan sesuai dengan pangsa pasar tidak merusakkan etika berbahasa kita sendiri? Terkadang memang sulit berbahasa yang baik dan benar bila otak kita terprogram dalam bahasa gado-gado. Karena terlalu takut menghadapi era globalisasi, maka sedari kecil anak-anak sudah dicekoki bahasa-bahasa asing (terutama bahasa Inggris).
Anak saya sendiri walaupun tidak dalam taraf dicekoki (termasuk setengah dicekoki, karena ibunya menyediakan VCD, permainan komputer, serta buku-buku yang sebagian besar berbahasa Inggris) terkadang menjadi bingung dalam berbahasa Indonesia karena yang teringat adalah istilah asingnya. Atau pengalaman teman lain yang anaknya masih TK tapi sudah les bahasa Inggris (sebelum lancar baca tulis), ia kebingungan ketika sang anak ngotot bahwa cara menulis apel dengan benar harus dengan dua huruf p...appel, wah harus masuk ke kamus yang mana ya?!
Menulis artikel ini sebenarnya agak sulit bagi saya, takut ada kesan terlalu sok pintar. Padahal saya memang sesungguhnya tidak pakar berbahasa, hanya saya ikut merasa prihatin. Bahasa katanya menunjukkan bangsa, kalau penggunaan bahasa Indonesia kita sudah kacau balau, masihkah bolehkah kita mengatakan bangga menjadi bangsa Indonesia?
Saya rasa hal yang kita perlukan adalah sarana pembelajaran berbahasa, dan contoh penggunaan bahasa yang baik (wahai para editor, pergunakan kesempatan ini....). Rasanya mengadakan RUU Bahasa hanya akan semakin mengaburkan arti demokrasi! Tumbuhkanlah kesadaran berbahasa, tumbuhkanlah kesadaran berbangsa!
Jumat, 16-03-2007 08:42:41 oleh: bajoe
Seingatku, ini adalah ketiga kalinya Retty menulis topik bahasa Indonesia. Sejak pertama topik ini muncul, aku sudah pengen memberi tanggapan dalam bentuk warta yang lain. Tapi belum kelar-kelar. Tunggu ya :)
Sedikit komentar soal RUU Bahasa, menurutku ini tidak ada perlunya bahasa dibuat undang-undang. Sebaiknya enerji yang ada digunakan untuk membuat standar bahasa Indonesia baku dan mensosialisasikannya.
Tapi UU? ini agak konyol, bahasa adalah bagian dari kebudayaan, yang dinamis selalu berkembang dan tidak bisa dikodifikasi / dijadikan hukum. Nanti malah timbul pasal-pasal sanksi yang aneh untuk sebuah bahasa.
Kecuali RUU ini motifnya proyek, agar dana pembuatan RUU cair...apa mau dikata....
--------------------------------------------------------------------------------
Jumat, 16-03-2007 10:59:09 oleh: Mimbar Saputro
Bahasa Indonesia memang top-markotop sulitnya. Membaca ulasan para ahli bahasa macam Yus Badudu, Anton Moeliono lalu coba kita praktekkan dalam tulisan sehari-hari sudah sukar tahap pertama. Kemudian muncul ahli bahasa di majalah Tempo, Gatra dan media lainnya, lama-lama seperti membaca jurnal kesehatan. Ahli lain bilang minum teh baik untuk jantung, dokter gigi bilang membuat plak pada gigi, ahli nutrisi bilang belum terbukti anti oksidan dalam teh akan membentur kanker. Akhirnya saya ribet sendiri.
--------------------------------------------------------------------------------
Jumat, 16-03-2007 12:19:39 oleh: Norman Sasono
Saya juga bukan ahli bahasa (bahasa manusia), entah bagi yang lain, kalau bagi saya, bahasa secara umum adalah:
- Himpunan dari "perbendaharaan kata (vocabulary)"
- dan himpunan dari "tata bahasa (grammar)"
Jadi, suatu pernyataan dalam suatu bahasa tidak lebih dari rangkaian ekspresi yang menggunakan perbendaharaan kata (vocabulary) dan mengikuti suatu tata bahasa (grammar).
Kalau begitu, Bahasa Indonesia adalah himpunan "vocabulary" dan "grammar" Indonesia. Nah, siapa yang berhak mendefinisikan suatu kata dan tata bahasa adalah "Indonesia"? Siapa yang berhak mendefinisikan bahasa Indonesia yang "baik" & "benar"? Apakah ini yg ingin dicapai melalui RUU ini?
O ya, bahasa juga berevolusi. Bahasa juga bisa punah jika tidak ada lagi yang pakai. Atau bisa juga tidak ada manusia yg pakai dlm kehidupan sehari-hari, tapi masih dipakai dlm konteks tertentu. Bahasa Latin misalnya, tidak ada bangsa yang sehari-hari berbicara lagi dlm bahasa Latin. Tp dlm literatur Science (dan religius) bahasa ini dipakai, mungkin karena memang sangat logis dan elegan/indah.
Satu kata di "vocabulary" suatu bahasa bisa diambil jadi "vocabulary" bahasa lain. Bahasa Indonesia cukup sering mengambil "vocabulary" bahasa lain. Contoh: "Komputer" dari "Computer" yang tidak lebih adalah penulisan fonetik dari ucapan "Computer" dalam Bahasa Indonesia. Siapa yg berhak memasukkan suatu "vocabulary" suatu bahasa ke bahasa lain? Aturannya gimana? Siapa yg berhak mendefinisikan aturannya?
Jd, karena bahasa juga berevolusi, maka tunduk pada hukum evolusi. "Only the fittest survive".
Apakah Bahasa Indonesia bisa survive? Bagaimana membuat suatu bahasa bisa survive? Kalau di dunia evolusi, kayaknya "Bahasa Inggris" adalah "manusia".
Bahasa Sansekerta ternyata masih dipakai lho di satu desa di India! Spt halnya Kom
--------------------------------------------------------------------------------
Jumat, 16-03-2007 12:22:07 oleh: Norman Sasono
Jd, karena bahasa juga berevolusi, maka tunduk pada hukum evolusi. "Only the fittest survive".
Apakah Bahasa Indonesia bisa survive? Bagaimana membuat suatu bahasa bisa survive? Kalau di dunia evolusi, kayaknya "Bahasa Inggris" adalah "manusia".
Bahasa Sansekerta ternyata masih dipakai lho di satu desa di India! Spt halnya Komodo yang hanya ada di Pulau Komodo.
--------------------------------------------------------------------------------
Jumat, 16-03-2007 12:47:40 oleh: wahjoe witjaksono
Bahasa Indonesia yang baik dan benar perlukah? Yang penting kita bisa saling komunikasi dan nggak ribet, kalo diatur dan ada sanksinya bisa-bisa pake basa isyarat, takut kena sanksi. Bahasa adalah sesuatu yang dinamis, istilah A disana belum tentu berarti A di daerah lain, Gedhang di Sunda beda dengan Gedhang di Jawa. Flexible-lah, yang penting tidak menyinggung orang lain. Jadi UU Bahasa nggak perlulah,biarkan bahasa berjalan sesuai jamannya.
Kanal: Opini
Pada harian Kompas hari Minggu, 11 Maret 2007, ada tulisan dari Ariel Heryanto dalam kolom Asal Usul berjudul "RUU Bahasa". Tulisan ini sangat menarik untuk disimak karena secara jelas mengutip pencampuran penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris oleh harian papan atas maupun oleh sastrawan Indonesia. Dalam bahasa sehari-hari tentu saja kita sangat dekat dengan penggunaan gaya bahasa yang populer. Yang terpopuler saat ini rupanya memang mencampurkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Contoh lain yang saya dapatkan ada pada majalah "get connected to network!" (terbitan PT MNI Global). Dari judul majalah mungkin kita bisa berpikir ini majalah berbahasa asing, tapi di dalamnya ternyata berbahasa gado-gado! Bahkan dalam tulisan sang editor pun penuh dengan pencampuran pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Saya kutipkan sedikit:" Last but not least, saya ingin mengucapkan terimakasih untuk semua pihak yang membantu MNC Peduli dalam rangka membantu korban banjir di Jakarta, para medis, relawan,tim keamanan, teman teman pegawai MNC grup, seluruh sponsor yang bersedia menyumbang makanan,obat obatan,minuman serta alat komunikasi, all my beloved celebrities...plus handful of wonderful artist & talent managers yang membantu menghibur warga Jakarta. You have all such a wonderful heart." Kecuali nama-nama yang disebutkan (diganti dengan ...) maka semua tulisan di atas saya kutip persis seperti aslinya. Jadi penulisan terimakasih, maupun ketiadaan spasi, serta bahasa Inggris yang digunakan adalah hasil akhir yang diterima di tangan pembaca.
Di tempat lain (baca: di lampu merah), ada lagi judul-judul berita yang cukup seram dengan bahasa yang jelas-jelas tidak terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, entah ini dari bahasa daerah atau hanya bahasa tutur lisan biasa. Karena kata-kata yang digunakan sungguh tidak sopan, maka saya tidak akan membahasnya disini.
Saya tidak secara khusus meneliti beberapa harian maupun majalah dalam topik penggunaan bahasa yang baik dan benar, tapi fenomena ini memang menarik. Bahkan bagi jurnalisme publik seperti wikimu.com hal seperti ini mungkin perlu juga menjadi perhatian. Melalui beberapa kali kunjungan ke Panyingkul.com, sebuah jurnalisme publik lokal dari Makassar, saya lihat penggunaan bahasa Indonesia yang baik sangat diperhatikan oleh kontributornya (mungkin juga yang kurang baik belum terbaca). Tentu saja untuk penulisan komentar cukup bebas, bahkan boleh menggunakan bahasa daerah.
Di wikimu.com saya pernah menemukan komentar yang akan terbaca ajaib bagi pembaca yang tidak mengerti bahasa (Inggris) teknik. Pada waktu itu saya cuma membatin kenapa tidak sekalian berbahasa Inggris sih?! Tapi, namanya komentar tentunya sudah menjadi hak bebas komentator. Hanya, bagi sebuah artikel dalam konteks jurnalisme sebaiknya terus berada dalam rambu-rambu bahasa yang benar. Dari pengamatan sekilas, saya melihat adanya kecenderungan pembaca wikimu untuk menyukai gaya bahasa yang ringan, luwes, dan populer.
Bagaimana agar usaha menggunakan gaya bahasa yang populer dan sesuai dengan pangsa pasar tidak merusakkan etika berbahasa kita sendiri? Terkadang memang sulit berbahasa yang baik dan benar bila otak kita terprogram dalam bahasa gado-gado. Karena terlalu takut menghadapi era globalisasi, maka sedari kecil anak-anak sudah dicekoki bahasa-bahasa asing (terutama bahasa Inggris).
Anak saya sendiri walaupun tidak dalam taraf dicekoki (termasuk setengah dicekoki, karena ibunya menyediakan VCD, permainan komputer, serta buku-buku yang sebagian besar berbahasa Inggris) terkadang menjadi bingung dalam berbahasa Indonesia karena yang teringat adalah istilah asingnya. Atau pengalaman teman lain yang anaknya masih TK tapi sudah les bahasa Inggris (sebelum lancar baca tulis), ia kebingungan ketika sang anak ngotot bahwa cara menulis apel dengan benar harus dengan dua huruf p...appel, wah harus masuk ke kamus yang mana ya?!
Menulis artikel ini sebenarnya agak sulit bagi saya, takut ada kesan terlalu sok pintar. Padahal saya memang sesungguhnya tidak pakar berbahasa, hanya saya ikut merasa prihatin. Bahasa katanya menunjukkan bangsa, kalau penggunaan bahasa Indonesia kita sudah kacau balau, masihkah bolehkah kita mengatakan bangga menjadi bangsa Indonesia?
Saya rasa hal yang kita perlukan adalah sarana pembelajaran berbahasa, dan contoh penggunaan bahasa yang baik (wahai para editor, pergunakan kesempatan ini....). Rasanya mengadakan RUU Bahasa hanya akan semakin mengaburkan arti demokrasi! Tumbuhkanlah kesadaran berbahasa, tumbuhkanlah kesadaran berbangsa!
Jumat, 16-03-2007 08:42:41 oleh: bajoe
Seingatku, ini adalah ketiga kalinya Retty menulis topik bahasa Indonesia. Sejak pertama topik ini muncul, aku sudah pengen memberi tanggapan dalam bentuk warta yang lain. Tapi belum kelar-kelar. Tunggu ya :)
Sedikit komentar soal RUU Bahasa, menurutku ini tidak ada perlunya bahasa dibuat undang-undang. Sebaiknya enerji yang ada digunakan untuk membuat standar bahasa Indonesia baku dan mensosialisasikannya.
Tapi UU? ini agak konyol, bahasa adalah bagian dari kebudayaan, yang dinamis selalu berkembang dan tidak bisa dikodifikasi / dijadikan hukum. Nanti malah timbul pasal-pasal sanksi yang aneh untuk sebuah bahasa.
Kecuali RUU ini motifnya proyek, agar dana pembuatan RUU cair...apa mau dikata....
--------------------------------------------------------------------------------
Jumat, 16-03-2007 10:59:09 oleh: Mimbar Saputro
Bahasa Indonesia memang top-markotop sulitnya. Membaca ulasan para ahli bahasa macam Yus Badudu, Anton Moeliono lalu coba kita praktekkan dalam tulisan sehari-hari sudah sukar tahap pertama. Kemudian muncul ahli bahasa di majalah Tempo, Gatra dan media lainnya, lama-lama seperti membaca jurnal kesehatan. Ahli lain bilang minum teh baik untuk jantung, dokter gigi bilang membuat plak pada gigi, ahli nutrisi bilang belum terbukti anti oksidan dalam teh akan membentur kanker. Akhirnya saya ribet sendiri.
--------------------------------------------------------------------------------
Jumat, 16-03-2007 12:19:39 oleh: Norman Sasono
Saya juga bukan ahli bahasa (bahasa manusia), entah bagi yang lain, kalau bagi saya, bahasa secara umum adalah:
- Himpunan dari "perbendaharaan kata (vocabulary)"
- dan himpunan dari "tata bahasa (grammar)"
Jadi, suatu pernyataan dalam suatu bahasa tidak lebih dari rangkaian ekspresi yang menggunakan perbendaharaan kata (vocabulary) dan mengikuti suatu tata bahasa (grammar).
Kalau begitu, Bahasa Indonesia adalah himpunan "vocabulary" dan "grammar" Indonesia. Nah, siapa yang berhak mendefinisikan suatu kata dan tata bahasa adalah "Indonesia"? Siapa yang berhak mendefinisikan bahasa Indonesia yang "baik" & "benar"? Apakah ini yg ingin dicapai melalui RUU ini?
O ya, bahasa juga berevolusi. Bahasa juga bisa punah jika tidak ada lagi yang pakai. Atau bisa juga tidak ada manusia yg pakai dlm kehidupan sehari-hari, tapi masih dipakai dlm konteks tertentu. Bahasa Latin misalnya, tidak ada bangsa yang sehari-hari berbicara lagi dlm bahasa Latin. Tp dlm literatur Science (dan religius) bahasa ini dipakai, mungkin karena memang sangat logis dan elegan/indah.
Satu kata di "vocabulary" suatu bahasa bisa diambil jadi "vocabulary" bahasa lain. Bahasa Indonesia cukup sering mengambil "vocabulary" bahasa lain. Contoh: "Komputer" dari "Computer" yang tidak lebih adalah penulisan fonetik dari ucapan "Computer" dalam Bahasa Indonesia. Siapa yg berhak memasukkan suatu "vocabulary" suatu bahasa ke bahasa lain? Aturannya gimana? Siapa yg berhak mendefinisikan aturannya?
Jd, karena bahasa juga berevolusi, maka tunduk pada hukum evolusi. "Only the fittest survive".
Apakah Bahasa Indonesia bisa survive? Bagaimana membuat suatu bahasa bisa survive? Kalau di dunia evolusi, kayaknya "Bahasa Inggris" adalah "manusia".
Bahasa Sansekerta ternyata masih dipakai lho di satu desa di India! Spt halnya Kom
--------------------------------------------------------------------------------
Jumat, 16-03-2007 12:22:07 oleh: Norman Sasono
Jd, karena bahasa juga berevolusi, maka tunduk pada hukum evolusi. "Only the fittest survive".
Apakah Bahasa Indonesia bisa survive? Bagaimana membuat suatu bahasa bisa survive? Kalau di dunia evolusi, kayaknya "Bahasa Inggris" adalah "manusia".
Bahasa Sansekerta ternyata masih dipakai lho di satu desa di India! Spt halnya Komodo yang hanya ada di Pulau Komodo.
--------------------------------------------------------------------------------
Jumat, 16-03-2007 12:47:40 oleh: wahjoe witjaksono
Bahasa Indonesia yang baik dan benar perlukah? Yang penting kita bisa saling komunikasi dan nggak ribet, kalo diatur dan ada sanksinya bisa-bisa pake basa isyarat, takut kena sanksi. Bahasa adalah sesuatu yang dinamis, istilah A disana belum tentu berarti A di daerah lain, Gedhang di Sunda beda dengan Gedhang di Jawa. Flexible-lah, yang penting tidak menyinggung orang lain. Jadi UU Bahasa nggak perlulah,biarkan bahasa berjalan sesuai jamannya.
Friday, 9 March 2007
Mari Berbahasa (Indonesia) Dengan Baik dan Benar (2)
Jumat, 09-03-2007 09:31:31 oleh: Retty N. Hakim Kanal: Gaya Hidup
Ternyata ajakan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar tidak semenarik artikel ajakan untuk mengalahkan kemarahan. Entah apa karena situasi dan kondisi (hampir saya tulis sikon) sekarang ini yang membuat kita lebih sering berjuang menahan kemarahan, atau karena merasa sebagai orang Indonesia kita sudah pandai berbahasa Indonesia. Artikel pertama saya kurang dikunjungi, apalagi dikomentari...
Perhatian orang asing terhadap bahasa kita seringkali jauh lebih tinggi daripada perhatian kita sendiri. Coba, apa kata dalam bahasa Indonesia yang dimulai dengan huruf X? Menyerah? Carilah di kamus! Ada? Memang tidak ada, ternyata dalam bahasa Indonesia tidak ada kata yang dimulai dengan huruf X. Hal ini baru menjadi perhatian saya setelah diangkat dalam tulisan Sue Potter di Newsletter (Februari 2007) dari Indonesian Heritage Society. Untuk sementara waktu organisasi nirlaba yang anggotanya kebanyakan orang asing ini memang membuat kolom "An Indonesian ABC". Isinya memang bermacam-macam, dari kebudayaan sampai bahasa.
Kebetulan edisi Maret ini Sue Potter mengangkat tema huruf Y, judulnya "Y is for...Yth."
Dia membahas kesenangan kita membuat singkatan, baik dari akronim (seperti ABRI) atau istilah baru yang berasal dari menyingkat (misalnya Telkom). Walaupun dia juga membuat kesalahan (atau salah ketik?!) dengan menuliskan kata kendari untuk kendali ketika dia mengisahkan asal kata rudal (peluru kendali), tapi tulisannya cukup menarik sebagai masukan bagi kita. Dia mengutip dari buku The Indonesian Language (UNSW Press, 2003) dimana James Sneddon mengutarakan betapa beberapa penulis Indonesia seringkali melupakan bahwa kata bandara itu adalah singkatan dari bandar udara, sehingga tidak jarang dia menemukan penulis yang menuliskan kata "bandara udara".
Demikian juga halnya dengan akronim, berapa banyak dari kita yang masih ingat kepanjangan BP7 atau P4? Menurut artikel ini, kebanyakan orang hanya mengingat bahwa ini berhubungan dengan Pancasila. Benarkah? Saya sendiri hanya ingat kepanjangan P4, tidak ingat lagi kepanjangan dari BP7. Mungkin juga karena kedua institusi ini sudah tidak bergigi lagi, bagaimana dengan yang lebih baru seperti nama partai? Mungkin tidak ya orang lupa kepanjangan dari Golkar, PPP, PDI-P, PDI, PKS, PDS, dan berbagai nama singkatan lainnya? Saya sendiri jadi sibuk mengingat-ingat kepanjangan dari Pertamina, benar tidak ya ini singkatan dari Perusahaan Minyak Negara?
Masalah singkatan ini rupanya cukup penting bagi komunitas orang asing sehingga harian Jakarta Post secara online mengeluarkan daftar singkatan yang popular di Indonesia. Daftar ini (katanya) kalau di cetak bisa sampai 22 halaman.
Itu mungkin baru singkatan dalam bahasa Indonesia ya, belum lagi singkatan modern yang dipengaruhi oleh teknologi sms dan internet. Buat yang mengerti arti snafu and lol, boleh juga cerita sedikit di wikimu. Tks (katanya berarti ganda: ThanKS, atau Terima KaSih)...
(Terinspirasi oleh tulisan Sue Potter "Y is for ... Yth.")
Jumat, 09-03-2007 10:04:59 oleh: Imamedy
Tergelitik juga saya untuk mengomentari kolom Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Retty N. Hakim. Terus terang saja minat mempelajari bahasa asing lebih menggebu-gebu dibandingkan bahasa sendiri yang taken for granted. Sebelum lebih jauh mengomentari tulisan tersebut, diakui maupun tidak, Retty sendiri sudah terpengaruh dalam gaya berbahasanya. Coba saja, mana orang Indonesia yang menuliskan singkatan nama seperti Retty N. Hakim. Kebiasaan orang Indonesia menulis singkatan nama di belakang atau di depan. Jadi , biasanya RN. Hakim atau Retty N....H. (contoh AH. Nasution).Itulah yang terjadi karena gaya, snobbish atau karena tuntutan kehidupan pergaulan dengan orang asing dsb. Apalagi kalau berbahasa asing menjadi nilai tambah dalam mendapatkan gaji, maka orang akan berlomba mengejarnya tanpa berpikir bagaimana harus melestarikan dan bangga dengan bahasa sendiri. Tapi jangan berkecil hati, presiden kita juga sering menuliskan namanya Susilo B. Yudhoyono.(too much exposure abroad?). Tentang tidak adanya X , pada awal kata bahasa Indonesia, saya kira tak harus dipaksakan. Bahasa akan tumbuh dan berkembang selaras dengan perkembangan jamannya. Setiap masa ada gaya bahasanya, dan setiap gaya bahasa ada masanya. Kalau kurang yakin, buka saja berbagai novel di zaman Marah rusli dan bandingkan dengan novel Marga T atau Arswendo. Akronim yang katanya dari ABRI, sebenarnya berlaku cukup universal. Gama untuk menyingkat Universitas Gadjah Mada, demikian pula Unpad, Unsoed maupun Indosat sebagai contoh. Di luar negeri, hal ini juga lumrah. Bahkan sebuah kata baru terbentuk dari akronim , misalnya INTEROPERABILITY yang berasal dari kata Inter (exchange), Operate dan Ability menjadi arti the ability to exchange or use difference information or equipment. Jadi, kalau penggunaan akronim Warteg dan Wartel bisa diterima di masyarakat, maka menurut saya sah-sah saja munculnya berbagai jenis kata baru. Selamat berbahasa Indonesia yang benar dan menarik. Sukses selalu.
Jumat, 09-03-2007 14:07:10 oleh: Retty N. Hakim
Kalau soal menyingkat nama, terus terang saya tidak memperhatikan kalau ini kebiasaan asing...mungkin juga terpengaruh. Tapi Retty itu cuma nama panggilan, terus N itu singkatan dari nama keluarga (dari orang tua) saya. nama keluarga Hakim itu cuma menunjukkan kalau saya sekarang Ibu Hakim (tanpa belajar hukum)...maksudnya nama keluarga suami(nggak laku untuk passport, tapi untuk nunjukin masih ikut suami...he..he..he..). Jadi kalau cari di KTP saya yang ketemu cuma N. itu saja (dari dulu disingkat oleh kelurahan, mungkin karena nama saya kepanjangan). Ternyata menyingkat nama itu juga ada gayanya ya? Terima kasih lho infonya...
Ternyata ajakan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar tidak semenarik artikel ajakan untuk mengalahkan kemarahan. Entah apa karena situasi dan kondisi (hampir saya tulis sikon) sekarang ini yang membuat kita lebih sering berjuang menahan kemarahan, atau karena merasa sebagai orang Indonesia kita sudah pandai berbahasa Indonesia. Artikel pertama saya kurang dikunjungi, apalagi dikomentari...
Perhatian orang asing terhadap bahasa kita seringkali jauh lebih tinggi daripada perhatian kita sendiri. Coba, apa kata dalam bahasa Indonesia yang dimulai dengan huruf X? Menyerah? Carilah di kamus! Ada? Memang tidak ada, ternyata dalam bahasa Indonesia tidak ada kata yang dimulai dengan huruf X. Hal ini baru menjadi perhatian saya setelah diangkat dalam tulisan Sue Potter di Newsletter (Februari 2007) dari Indonesian Heritage Society. Untuk sementara waktu organisasi nirlaba yang anggotanya kebanyakan orang asing ini memang membuat kolom "An Indonesian ABC". Isinya memang bermacam-macam, dari kebudayaan sampai bahasa.
Kebetulan edisi Maret ini Sue Potter mengangkat tema huruf Y, judulnya "Y is for...Yth."
Dia membahas kesenangan kita membuat singkatan, baik dari akronim (seperti ABRI) atau istilah baru yang berasal dari menyingkat (misalnya Telkom). Walaupun dia juga membuat kesalahan (atau salah ketik?!) dengan menuliskan kata kendari untuk kendali ketika dia mengisahkan asal kata rudal (peluru kendali), tapi tulisannya cukup menarik sebagai masukan bagi kita. Dia mengutip dari buku The Indonesian Language (UNSW Press, 2003) dimana James Sneddon mengutarakan betapa beberapa penulis Indonesia seringkali melupakan bahwa kata bandara itu adalah singkatan dari bandar udara, sehingga tidak jarang dia menemukan penulis yang menuliskan kata "bandara udara".
Demikian juga halnya dengan akronim, berapa banyak dari kita yang masih ingat kepanjangan BP7 atau P4? Menurut artikel ini, kebanyakan orang hanya mengingat bahwa ini berhubungan dengan Pancasila. Benarkah? Saya sendiri hanya ingat kepanjangan P4, tidak ingat lagi kepanjangan dari BP7. Mungkin juga karena kedua institusi ini sudah tidak bergigi lagi, bagaimana dengan yang lebih baru seperti nama partai? Mungkin tidak ya orang lupa kepanjangan dari Golkar, PPP, PDI-P, PDI, PKS, PDS, dan berbagai nama singkatan lainnya? Saya sendiri jadi sibuk mengingat-ingat kepanjangan dari Pertamina, benar tidak ya ini singkatan dari Perusahaan Minyak Negara?
Masalah singkatan ini rupanya cukup penting bagi komunitas orang asing sehingga harian Jakarta Post secara online mengeluarkan daftar singkatan yang popular di Indonesia. Daftar ini (katanya) kalau di cetak bisa sampai 22 halaman.
Itu mungkin baru singkatan dalam bahasa Indonesia ya, belum lagi singkatan modern yang dipengaruhi oleh teknologi sms dan internet. Buat yang mengerti arti snafu and lol, boleh juga cerita sedikit di wikimu. Tks (katanya berarti ganda: ThanKS, atau Terima KaSih)...
(Terinspirasi oleh tulisan Sue Potter "Y is for ... Yth.")
Jumat, 09-03-2007 10:04:59 oleh: Imamedy
Tergelitik juga saya untuk mengomentari kolom Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Retty N. Hakim. Terus terang saja minat mempelajari bahasa asing lebih menggebu-gebu dibandingkan bahasa sendiri yang taken for granted. Sebelum lebih jauh mengomentari tulisan tersebut, diakui maupun tidak, Retty sendiri sudah terpengaruh dalam gaya berbahasanya. Coba saja, mana orang Indonesia yang menuliskan singkatan nama seperti Retty N. Hakim. Kebiasaan orang Indonesia menulis singkatan nama di belakang atau di depan. Jadi , biasanya RN. Hakim atau Retty N....H. (contoh AH. Nasution).Itulah yang terjadi karena gaya, snobbish atau karena tuntutan kehidupan pergaulan dengan orang asing dsb. Apalagi kalau berbahasa asing menjadi nilai tambah dalam mendapatkan gaji, maka orang akan berlomba mengejarnya tanpa berpikir bagaimana harus melestarikan dan bangga dengan bahasa sendiri. Tapi jangan berkecil hati, presiden kita juga sering menuliskan namanya Susilo B. Yudhoyono.(too much exposure abroad?). Tentang tidak adanya X , pada awal kata bahasa Indonesia, saya kira tak harus dipaksakan. Bahasa akan tumbuh dan berkembang selaras dengan perkembangan jamannya. Setiap masa ada gaya bahasanya, dan setiap gaya bahasa ada masanya. Kalau kurang yakin, buka saja berbagai novel di zaman Marah rusli dan bandingkan dengan novel Marga T atau Arswendo. Akronim yang katanya dari ABRI, sebenarnya berlaku cukup universal. Gama untuk menyingkat Universitas Gadjah Mada, demikian pula Unpad, Unsoed maupun Indosat sebagai contoh. Di luar negeri, hal ini juga lumrah. Bahkan sebuah kata baru terbentuk dari akronim , misalnya INTEROPERABILITY yang berasal dari kata Inter (exchange), Operate dan Ability menjadi arti the ability to exchange or use difference information or equipment. Jadi, kalau penggunaan akronim Warteg dan Wartel bisa diterima di masyarakat, maka menurut saya sah-sah saja munculnya berbagai jenis kata baru. Selamat berbahasa Indonesia yang benar dan menarik. Sukses selalu.
Jumat, 09-03-2007 14:07:10 oleh: Retty N. Hakim
Kalau soal menyingkat nama, terus terang saya tidak memperhatikan kalau ini kebiasaan asing...mungkin juga terpengaruh. Tapi Retty itu cuma nama panggilan, terus N itu singkatan dari nama keluarga (dari orang tua) saya. nama keluarga Hakim itu cuma menunjukkan kalau saya sekarang Ibu Hakim (tanpa belajar hukum)...maksudnya nama keluarga suami(nggak laku untuk passport, tapi untuk nunjukin masih ikut suami...he..he..he..). Jadi kalau cari di KTP saya yang ketemu cuma N. itu saja (dari dulu disingkat oleh kelurahan, mungkin karena nama saya kepanjangan). Ternyata menyingkat nama itu juga ada gayanya ya? Terima kasih lho infonya...
Subscribe to:
Posts (Atom)