Kemarin saya ke Jakarta naik bis feeder (waduh bagaimana mau berbahasa Indonesia yang baik...kita diajarkan feeder atau shuttle bus) dan dilanjutkan dengan busway (sigh!). Yang menarik perhatian saya ketika naik busway ada seorang ibu yang kemungkinan anaknya Down Syndrom, anak itu sedang menangis menggerung-gerung...semua orang memperhatikan dengan berbagai macam ekspresi. Ada ekspresi menyalahkan (aduh diemin dong tuh anak!), ada ekspresi takut (jauh-jauh dikit dari saya deh...), ada ekspresi kasihan (wah kasihan amat anak ini). Anak itu belum bisa bicara, walaupun dari fisiknya terlihat setidaknya sudah berumur lima tahun. Dia tidak autis karena dia bisa berkomunikasi dengan ibunya dengan mata dan suara ah uh...ah uh. Kemudian kondektur datang menyarankan agar anak itu disuruh melihat keluar supaya bisa diam alasannya kasihan anak ibu ketakutan (padahal mungkin juga kondektur tidak enak pada penumpang lain yang jadi stress mendengar tangisan anak itu). Setelah diberi makanan dan disuruh menghadap ke jalan (berdiri) anak itu memang jauh lebih tenang. Hebatnya sang ibu begitu tenang, tidak ada gejala malu ataupun menekan anaknya. Ada dia agak keras sedikit ketika sang anak menolak dibujuk, tapi masih normal.
Saya membayangkan diri saya sendiri dengan anak-anak yang normal, kalau mereka ribut di bus...wah malunya seperti apa, dan pasti sudah marah-marah pada anak-anak. Ketenangan ibu ini mengingatkan aku pada kisah Mercy yang bunuh diri dengan membawa anak-anaknya juga (4 anak sekaligus). Ibu yang sederhana ini (terlihat dari pakaian, sepatu dan tasnya) begitu tabah membesarkan anaknya yang bermasalah. Sementara Mercy karena putus asa dengan kondisi keuangan (uang sekolah anak dan uang cuci darah) bukan mencoba mencari pertolongan dari lingkungan, atau mencoba memindahkan sekolah anaknya (mana yang lebih bagus sekolah negeri atau tidak sekolah?) malah mengambil jalan pintas!
Kalau saya bandingkan dengan kondisi keponakan saya Jane yang autistik, dimana dia memperoleh kemudahan-kemudahan untuk bersekolah (khusus) dan mobil untuk transportasi, maka tentunya kondisi anak Down Syndrom tadi menyedihkan. Anak itu lebih komunikatif, tapi dia memiliki cacat khas anak Down Syndrom. Kalau dipikir-pikir masih amat banyak masalah-masalah yang sangat berat di sekitar kita. Seringkali Allah memberi kita jalan dan kemudahan dalam masalah yang berbeda. Dalam hal Jane, orang tuanya diberi kemurahan rezeki. Dalam hal anak di bus tadi, ibunya diberi ketabahan dan kebesaran hati yang amat besar. Semoga Allah terus menguatkan semua orang dalam berbagai macam pergumulan dan cobaan yang mereka terima. Toh Allah menjanjikan bahwa beban yang kita pikul tidak akan melebihi kemampuan kita memikulnya, dan kalaupun itu berat sekali Dia senantiasa ada untuk membantu kita memikulnya.
Buah pena or fruit of the pen was started as an online diary of a citizen reporter. Time goes by, and I think being just a blogger is nicer than being a citizen reporter. Yet, it is important to keep a balancing diary. Online diary is kind of reporting too. So, I keep on doing my self experiment on living in the cyber space.
Showing posts with label inspirasi. Show all posts
Showing posts with label inspirasi. Show all posts
Wednesday, 14 March 2007
Tuesday, 13 March 2007
Beda persepsi
Komentar atas komentar-komentar terhadap Ibu, Anak adalah Titipan Allah.
Seringkali manusia berbeda persepsi, tapi memang pengalaman hidup yang akan lebih banyak mengajarkan makna suatu hal...
Memang berbicara tidak akan pernah menyelesaikan masalah, tapi kalau saja ada pendekatan kepada pendidikan, kepada keimanan (apapun latar belakang imannya)...maka tidak akan banyak masalah seperti ini.
Ini baru puncak tipis dari gunung es, kalau berbicara tentang TKW maka akan lebih miris lagi! Selain yang teraniaya tanpa pembelaan, maka masih ada juga kebodohan massal lainnya...Misalnya TKW yang pulang setelah 5 tahun di Malaysia tanpa membawa apa-apa karena semua hartanya dipegang suami yang orang Malaysia. Sementara sang suami tidak ikut ke Indonesia, entah bagaimana perempuan ini bisa memperoleh kembali hartanya kalau biaya kembali ke Malaysia pun ia tak punya!
Berbuat yang tertepat menurut aku adalah pendidikan (ilmu dan iman), karena toh berteriak-teriak kepada pemerintah juga tidak berguna kalau tidak ada perubahan mentalitas bangsa. Perubahan pemerintahan yang tidak disertai perubahan mentalitas manusianya hanya akan mengulang lingkaran setan yang sama. Dana seberapa besarnya pun tidak akan mencukupi kalau bocor...BOS saja terselewengkan! Jadi berbuat yang terbaik sekarang ini adalah memberi contoh perbuatan baik kepada generasi muda. Generasi instan ini tampaknya lebih manja, lebih menuntut hidup enak dan mudah...tampaknya...dalamnya laut siapa yang menduga! Dengan ucapan dan perbuatan barulah iman itu hidup!
Seringkali manusia berbeda persepsi, tapi memang pengalaman hidup yang akan lebih banyak mengajarkan makna suatu hal...
Memang berbicara tidak akan pernah menyelesaikan masalah, tapi kalau saja ada pendekatan kepada pendidikan, kepada keimanan (apapun latar belakang imannya)...maka tidak akan banyak masalah seperti ini.
Ini baru puncak tipis dari gunung es, kalau berbicara tentang TKW maka akan lebih miris lagi! Selain yang teraniaya tanpa pembelaan, maka masih ada juga kebodohan massal lainnya...Misalnya TKW yang pulang setelah 5 tahun di Malaysia tanpa membawa apa-apa karena semua hartanya dipegang suami yang orang Malaysia. Sementara sang suami tidak ikut ke Indonesia, entah bagaimana perempuan ini bisa memperoleh kembali hartanya kalau biaya kembali ke Malaysia pun ia tak punya!
Berbuat yang tertepat menurut aku adalah pendidikan (ilmu dan iman), karena toh berteriak-teriak kepada pemerintah juga tidak berguna kalau tidak ada perubahan mentalitas bangsa. Perubahan pemerintahan yang tidak disertai perubahan mentalitas manusianya hanya akan mengulang lingkaran setan yang sama. Dana seberapa besarnya pun tidak akan mencukupi kalau bocor...BOS saja terselewengkan! Jadi berbuat yang terbaik sekarang ini adalah memberi contoh perbuatan baik kepada generasi muda. Generasi instan ini tampaknya lebih manja, lebih menuntut hidup enak dan mudah...tampaknya...dalamnya laut siapa yang menduga! Dengan ucapan dan perbuatan barulah iman itu hidup!
Ibu, Anak Adalah Titipan Allah!
Senin, 12-03-2007 08:51:57 oleh: Retty N. Hakim Kanal: Kriminal
Seorang ibu mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Empat anaknya diduga juga disuguhi minuman beracun. (dikutip dari Warta Kota, 12 Maret 2007). Melihat judul utama dengan foto-foto yang menyertai, saya merasa sangat prihatin. Bagaimana tidak? Seorang ibu tega mengambil nyawa anak-anaknya sendiri karena merasa tidak mampu keluar dari kesulitan hidupnya.
Kehidupan zaman ini memang semakin sulit, pergesaran prioritas juga menjadikan keluarga seringkali tidak lagi menjadi keutamaan. Keutamaan itu bukan semata dalam hal materi, tapi terlebih dalam hal perhatian (empati dan afeksi). Ini yang seringkali terlupa tatkala orang tua berkutat dengan prioritas ekonomi. Seorang ibu pada dasarnya adalah orang yang terdekat dengan anak-anaknya. Selama sembilan bulan lebih dia sudah membawa anaknya di dalam perutnya. Selama itu pula dia membantu Allah melindungi cikal bakal manusia yang sedang dikandungnya. Setelah itu dia pula yang tentunya paling dekat dengan anak-anaknya karena sebenarnya tugas seorang ibu pula untuk mengalirkan air kehidupan melalui air susunya.
Kejadian seperti ini bukan yang pertama terjadi (saya pernah melihat di acara Kick Andy sebuah peristiwa yang hampir sama, hanya sang ibu akhirnya tidak meninggal tapi berakhir di penjara). Sungguh memilukan memikirkan bahwa anak yang dititipkan Allah kepada seorang ibu diputuskan kehidupannya oleh sang ibu sendiri.
Dalam agama apapun di dunia, saya yakin semuanya menentang pembunuhan walaupun yang diputuskan adalah kehidupan orang itu sendiri. Apalagi kehidupan orang lain. Kehidupan manusia itu adalah dari sang Khalik, Dia hanya menitipkannya kepada orang tua. Perjalanan hidup manusia sendiri sebenarnya selalu disertaiNya.
Saya jadi teringat suatu cerita yang pernah saya baca di masa kecilku. Cerita ini tentang seorang malaikat yang disuruh mengambil hidup seorang janda yang mempunyai dua anak bayi. Sang malaikat kasihan pada bayi-bayi yang akan kehilangan ibunya, sehingga menunda mengambil nyawa sang ibu. Akhirnya toh nyawa sang ibu harus kembali pada Sang Pencipta, sementara sang malaikat dihukum menjadi manusia untuk melihat bagaimana Allah akan menjaga anak-anak tersebut. Begitu kira-kira inti cerita yang kuingat.
Memang benar adalah manusia-manusia lainnya yang menjadi perpanjangan tangan Allah untuk menjaga ciptaanNya. Seorang ibu, bagaimanapun masalah yang menimpa, bila beriman kepada Allah maka ia akan mempercayakan masa depan diri dan keluarganya kepada Allah. Doa adalah satu cara, berusaha adalah pelengkapnya. Berputus asa dan mengakhiri kehidupannya sekeluarga bukanlah hal yang diinginkan Allah dari manusia. Seorang ibu diberi waktu selama sembilan bulan untuk merasakan karya penciptaan di dalam dirinya, merasakan kesulitan-kesulitan dalam hamil dan melahirkan untuk menjadi kuat dalam mendampingi titipanNya.
Satu hal yang mungkin dapat kita lakukan adalah memberdayakan perempuan. Seringkali anak perempuan harus mengalah dari anak laki-laki dalam hal kesempatan bersekolah. Memang anak laki-laki diharapkan menjadi penopang hidup keluarga. Ilmu serta keahlian yang diperolehnya diharapkan menjadi pemberi nafkah keluarga (terutama dalam masyarakat yang masih tinggi tingkat paternalistiknya). Tetapi ilmu dan keahlian yang diperoleh kaum perempuan sama pentingnya karena itu akan menjadi landasan utama pembentukan bibit-bibit bangsa. Orang yang terdekat dari anak-anak adalah kaum perempuan (dengan tidak mengurangi rasa hormat saya pada kaum bapak yang sungguh perduli pada keluarga).
Kesulitan hidup, masalah dengan suami dan berbagai macam masalah kehidupan yang harus dibarengi dengan pengasuhan anak seringkali menjadi hal yang sangat melelahkan, karena itu memperkuat landasan keimanan keluarga sangat penting. Kaum bapak yang beriman akan lebih memperhatikan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, kaum ibu yang beriman akan lebih taqwa dan tawakal dalam menghadapi kendala kehidupan, anak-anak akan lebih hormat kepada orang tua dan punya pegangan dalam masa-masa sulit perkembangannya. Surga ada di telapak kaki ibu, menjadikan kematian sebagai jalan keluar bukan menghadirkan surga bagi anak-anak!
3 komentar pada warta ini
Senin, 12-03-2007 09:23:30 oleh: ridwan
Saya juga menonton berita ini di televisi. Tapi meningkatkan iman saja seperti yang diusulkan Ibu Retty, apa cukup? Tidak cukup! Kalau perspektif Anda sedikit diputar balikan, menjadi seorang ibu dengan 4 anak dalam situasi yang miskin, saya yakin tidak begitu mudahnya menyarankan solusi ini soal beriman atau tidak. Kalau Anda pernah miskin, yang setiap hari berkutat dengan masalah: hari ini aku memberi makan apa pada anak-anakku, jerih mendengar tangis anak-anak yang kelaparan, tentu masalah bunuh diri hal yang sungguh dekat mengintip kita. Mungkin buat kita-kita yang cukup makan, tidak pusing soal makan apa hari, masalah bunuh diri menjadi tidak masuk akal. Tapi cobalah menjadi mereka yang miskin -- minimal berempati atau berinteraksi dengan mereka yang miskin. Di Gunung Kidul- Jogja, ada tradisi bunuh diri -- terutama ketika musim kemarau berkepanjangan yang berakibat kurangnya pangan. Mestinya pertanyaan yang diajukan : mengapa seseorang putus asa untuk mengambil keputusan bunuh diri? Jawaban kurang iman, adalah jawaban yang terlalu menggampangkan. Kita harus berani melihat lebih dalam, bahwa ada kebutuhan-kebutuhan dasar sebagian manusia yang tidak terpenuhi yaitu pangan, papan dan sandang. Solusinya,adalah bagaimana kebutuhan pokok itu dapat terpenuhi...Bagaimana sebuah masyarakat cepat tanggap pada tetangganya yang kekurangan dan bisa membantu memenuhi kebutuhan itu. Selama keadaannya masih begini2 saja, saya yakin masih akan ada peristiwa yang terulang. Dan itu lahir dari kantong kemiskinan.
Senin, 12-03-2007 11:52:25 oleh: retty
Saya tetap berprinsip keimanan harus kuat, coba saja tengok di bawah jembatan berapa banyak yang menggelandang dan mengemis tapi terus berusaha untuk mempertahankan kehidupan. Kemisikinan bagi orang yang terbiasa hidup berpunya itu lebih parah karena tingkat kebutuhannya yang lebih tinggi sehingga kalau dia tidak menyesuaikan diri tentunya berakibat fatal (lihat saja peristiwa artis muda yang terlibat pembunuhan). Benar bahwa akar permasalahan adalah kemiskinan. Tapi di negara yang pajaknya digunakan untuk tunjangan sosial hal bunuh diri atau menjadi gila ini juga terjadi, mengapa? Karena merasa tidak sanggup menahan penderitaan. Saya tidak akan menghakimi ibu-ibu tersebut, saya amat sangat maklum terhadap tekanan-tekanan yang harus mereka gumuli. Tapi, saya ingin menghimbau untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Saya yakin keimanan masih bisa menyelamatkan, setidaknya untuk tidak gelap mata. Sebagai sesama yang lebih beruntung dalam strata ekonomi, tentunya kita harus mensyukuri kelebihan yang dikaruniakan pada kita dan membagikannya pada yang membutuhkan. Ini juga diajarkan semua agama kan?!
Senin, 12-03-2007 14:16:16 oleh: Suhu Tan
Macan dikenal sebagai binatang buas yang paling ganas, tapi tak ada macan ( betina ) yang makan anaknya, dia malah menjilati lendir yang ada dibulu anak2 nya dan menjaganya sepanjang waktu dari gangguan / terkaman binatang buas/pemangsa lainnya. Ini terus dilakukannya selama hampir 1 tahun penuh. Manusia harusnya memang tidak ada yang lebih sadis dari macan. Hanya saja, manusia tidak memiliki kemampuan bertahan dari derita fisik maupun bathin sekuat macan. Makanya banyak yang sering frustasi berat dan menyerah dalam hidup, cari jalan pintas (bunuh diri, misalnya) dengan pemikiran seolah-olah dengan tindakan seperti itu maka semuanya akan menjadi selesai dan terbebaslah dari segala derita. Pemahaman iman yang kuat memang diperlukan untuk mencegah terjadinya hal demikian, tapi terkadang iman menjadi goyah dan rapuh bila doa dan sujut sdh terus2 an dipanjatkan namun derita demi derita terus saja bermunculan, doapun serasa jadi hampa seakan tak ada yang dengar. Hal2 seperti ini, sangat banyak terjadi, lho! Khususnya di akar rumput masyarakat kita ini. Sampai pada situasi yang demikian, rasanya iman saja memang tidak cukup, lho! Membenahinya, tak semudah kita bicara, ya, tho!
Seorang ibu mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Empat anaknya diduga juga disuguhi minuman beracun. (dikutip dari Warta Kota, 12 Maret 2007). Melihat judul utama dengan foto-foto yang menyertai, saya merasa sangat prihatin. Bagaimana tidak? Seorang ibu tega mengambil nyawa anak-anaknya sendiri karena merasa tidak mampu keluar dari kesulitan hidupnya.
Kehidupan zaman ini memang semakin sulit, pergesaran prioritas juga menjadikan keluarga seringkali tidak lagi menjadi keutamaan. Keutamaan itu bukan semata dalam hal materi, tapi terlebih dalam hal perhatian (empati dan afeksi). Ini yang seringkali terlupa tatkala orang tua berkutat dengan prioritas ekonomi. Seorang ibu pada dasarnya adalah orang yang terdekat dengan anak-anaknya. Selama sembilan bulan lebih dia sudah membawa anaknya di dalam perutnya. Selama itu pula dia membantu Allah melindungi cikal bakal manusia yang sedang dikandungnya. Setelah itu dia pula yang tentunya paling dekat dengan anak-anaknya karena sebenarnya tugas seorang ibu pula untuk mengalirkan air kehidupan melalui air susunya.
Kejadian seperti ini bukan yang pertama terjadi (saya pernah melihat di acara Kick Andy sebuah peristiwa yang hampir sama, hanya sang ibu akhirnya tidak meninggal tapi berakhir di penjara). Sungguh memilukan memikirkan bahwa anak yang dititipkan Allah kepada seorang ibu diputuskan kehidupannya oleh sang ibu sendiri.
Dalam agama apapun di dunia, saya yakin semuanya menentang pembunuhan walaupun yang diputuskan adalah kehidupan orang itu sendiri. Apalagi kehidupan orang lain. Kehidupan manusia itu adalah dari sang Khalik, Dia hanya menitipkannya kepada orang tua. Perjalanan hidup manusia sendiri sebenarnya selalu disertaiNya.
Saya jadi teringat suatu cerita yang pernah saya baca di masa kecilku. Cerita ini tentang seorang malaikat yang disuruh mengambil hidup seorang janda yang mempunyai dua anak bayi. Sang malaikat kasihan pada bayi-bayi yang akan kehilangan ibunya, sehingga menunda mengambil nyawa sang ibu. Akhirnya toh nyawa sang ibu harus kembali pada Sang Pencipta, sementara sang malaikat dihukum menjadi manusia untuk melihat bagaimana Allah akan menjaga anak-anak tersebut. Begitu kira-kira inti cerita yang kuingat.
Memang benar adalah manusia-manusia lainnya yang menjadi perpanjangan tangan Allah untuk menjaga ciptaanNya. Seorang ibu, bagaimanapun masalah yang menimpa, bila beriman kepada Allah maka ia akan mempercayakan masa depan diri dan keluarganya kepada Allah. Doa adalah satu cara, berusaha adalah pelengkapnya. Berputus asa dan mengakhiri kehidupannya sekeluarga bukanlah hal yang diinginkan Allah dari manusia. Seorang ibu diberi waktu selama sembilan bulan untuk merasakan karya penciptaan di dalam dirinya, merasakan kesulitan-kesulitan dalam hamil dan melahirkan untuk menjadi kuat dalam mendampingi titipanNya.
Satu hal yang mungkin dapat kita lakukan adalah memberdayakan perempuan. Seringkali anak perempuan harus mengalah dari anak laki-laki dalam hal kesempatan bersekolah. Memang anak laki-laki diharapkan menjadi penopang hidup keluarga. Ilmu serta keahlian yang diperolehnya diharapkan menjadi pemberi nafkah keluarga (terutama dalam masyarakat yang masih tinggi tingkat paternalistiknya). Tetapi ilmu dan keahlian yang diperoleh kaum perempuan sama pentingnya karena itu akan menjadi landasan utama pembentukan bibit-bibit bangsa. Orang yang terdekat dari anak-anak adalah kaum perempuan (dengan tidak mengurangi rasa hormat saya pada kaum bapak yang sungguh perduli pada keluarga).
Kesulitan hidup, masalah dengan suami dan berbagai macam masalah kehidupan yang harus dibarengi dengan pengasuhan anak seringkali menjadi hal yang sangat melelahkan, karena itu memperkuat landasan keimanan keluarga sangat penting. Kaum bapak yang beriman akan lebih memperhatikan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, kaum ibu yang beriman akan lebih taqwa dan tawakal dalam menghadapi kendala kehidupan, anak-anak akan lebih hormat kepada orang tua dan punya pegangan dalam masa-masa sulit perkembangannya. Surga ada di telapak kaki ibu, menjadikan kematian sebagai jalan keluar bukan menghadirkan surga bagi anak-anak!
3 komentar pada warta ini
Senin, 12-03-2007 09:23:30 oleh: ridwan
Saya juga menonton berita ini di televisi. Tapi meningkatkan iman saja seperti yang diusulkan Ibu Retty, apa cukup? Tidak cukup! Kalau perspektif Anda sedikit diputar balikan, menjadi seorang ibu dengan 4 anak dalam situasi yang miskin, saya yakin tidak begitu mudahnya menyarankan solusi ini soal beriman atau tidak. Kalau Anda pernah miskin, yang setiap hari berkutat dengan masalah: hari ini aku memberi makan apa pada anak-anakku, jerih mendengar tangis anak-anak yang kelaparan, tentu masalah bunuh diri hal yang sungguh dekat mengintip kita. Mungkin buat kita-kita yang cukup makan, tidak pusing soal makan apa hari, masalah bunuh diri menjadi tidak masuk akal. Tapi cobalah menjadi mereka yang miskin -- minimal berempati atau berinteraksi dengan mereka yang miskin. Di Gunung Kidul- Jogja, ada tradisi bunuh diri -- terutama ketika musim kemarau berkepanjangan yang berakibat kurangnya pangan. Mestinya pertanyaan yang diajukan : mengapa seseorang putus asa untuk mengambil keputusan bunuh diri? Jawaban kurang iman, adalah jawaban yang terlalu menggampangkan. Kita harus berani melihat lebih dalam, bahwa ada kebutuhan-kebutuhan dasar sebagian manusia yang tidak terpenuhi yaitu pangan, papan dan sandang. Solusinya,adalah bagaimana kebutuhan pokok itu dapat terpenuhi...Bagaimana sebuah masyarakat cepat tanggap pada tetangganya yang kekurangan dan bisa membantu memenuhi kebutuhan itu. Selama keadaannya masih begini2 saja, saya yakin masih akan ada peristiwa yang terulang. Dan itu lahir dari kantong kemiskinan.
Senin, 12-03-2007 11:52:25 oleh: retty
Saya tetap berprinsip keimanan harus kuat, coba saja tengok di bawah jembatan berapa banyak yang menggelandang dan mengemis tapi terus berusaha untuk mempertahankan kehidupan. Kemisikinan bagi orang yang terbiasa hidup berpunya itu lebih parah karena tingkat kebutuhannya yang lebih tinggi sehingga kalau dia tidak menyesuaikan diri tentunya berakibat fatal (lihat saja peristiwa artis muda yang terlibat pembunuhan). Benar bahwa akar permasalahan adalah kemiskinan. Tapi di negara yang pajaknya digunakan untuk tunjangan sosial hal bunuh diri atau menjadi gila ini juga terjadi, mengapa? Karena merasa tidak sanggup menahan penderitaan. Saya tidak akan menghakimi ibu-ibu tersebut, saya amat sangat maklum terhadap tekanan-tekanan yang harus mereka gumuli. Tapi, saya ingin menghimbau untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Saya yakin keimanan masih bisa menyelamatkan, setidaknya untuk tidak gelap mata. Sebagai sesama yang lebih beruntung dalam strata ekonomi, tentunya kita harus mensyukuri kelebihan yang dikaruniakan pada kita dan membagikannya pada yang membutuhkan. Ini juga diajarkan semua agama kan?!
Senin, 12-03-2007 14:16:16 oleh: Suhu Tan
Macan dikenal sebagai binatang buas yang paling ganas, tapi tak ada macan ( betina ) yang makan anaknya, dia malah menjilati lendir yang ada dibulu anak2 nya dan menjaganya sepanjang waktu dari gangguan / terkaman binatang buas/pemangsa lainnya. Ini terus dilakukannya selama hampir 1 tahun penuh. Manusia harusnya memang tidak ada yang lebih sadis dari macan. Hanya saja, manusia tidak memiliki kemampuan bertahan dari derita fisik maupun bathin sekuat macan. Makanya banyak yang sering frustasi berat dan menyerah dalam hidup, cari jalan pintas (bunuh diri, misalnya) dengan pemikiran seolah-olah dengan tindakan seperti itu maka semuanya akan menjadi selesai dan terbebaslah dari segala derita. Pemahaman iman yang kuat memang diperlukan untuk mencegah terjadinya hal demikian, tapi terkadang iman menjadi goyah dan rapuh bila doa dan sujut sdh terus2 an dipanjatkan namun derita demi derita terus saja bermunculan, doapun serasa jadi hampa seakan tak ada yang dengar. Hal2 seperti ini, sangat banyak terjadi, lho! Khususnya di akar rumput masyarakat kita ini. Sampai pada situasi yang demikian, rasanya iman saja memang tidak cukup, lho! Membenahinya, tak semudah kita bicara, ya, tho!
Saturday, 3 March 2007
Mengalahkan Kemarahan Satu Langkah Kemenangan
Rabu, 28-02-2007 16:27:29 oleh: Retty N. Hakim Kanal: Gaya Hidup
Harian Warta Kota hari ini tampil dengan berita utama "Maia Ahmad Mengamuk". Rupanya kekisruhan rumah tangga Dhani dan Maia yang terus di umbar kepada pers semakin rumit. Pesan Kak Seto (ketua Komnas Perlindungan Anak) agar keduanya ingat untuk tidak bertengkar di depan anak-anak mereka mungkin perlu ditekankan lagi agar tidak mengikut sertakan anak-anak mereka dalam pertengkaran mereka. Lihat saja kasus Tamara Blezynski, di mana anak bisa dibilang menjadi korban adu ego kedua orang tuanya.
Bulan Juli 2006 hampir seluruh dunia memuat berita utama tentang kemarahan Zinedine Zidane, pemain bola dari Perancis, yang menanduk Materazzi, pemain lawannya dari Italia. Hampir seluruh dunia kaget melihat reaksi Zinedine Zidane yang biasanya terkenal santun. Tidak sedikit yang mengecamnya karena acara dunia ini ditonton oleh anak-anak pencinta sepak bola. Melihat sang idola melakukan kekerasan tentu saja bisa mempengaruhi pandangan anak-anak terhadap perilaku kekerasan terhadap orang lain. Sementara akibat langsung bagi Zizou sendiri adalah harus meninggalkan sisa waktu pertandingan pada saat ia berniat mengakhiri kariernya dengan kenangan manis. Seorang kolumnis The Sunday Times (Singapore) menyayangkan bahwa Zizou tidak menggunakan kemarahannya untuk memimpin timnya memenangkan Piala Dunia. Kemampuan untuk mengalahkan kemarahan dan mengontrolnya dapat menjadi sumber energi, kemampuan, dan motivasi yang sangat besar.
Demikian pula dengan Maia, sayang sekali bila ia membiarkan kemarahan menutupi akal sehatnya. Kejadian ini bisa menjadi senjata Dhani untuk menjelekkan karakter Maia, sehingga pada akhirnya Maia bisa kehilangan hak asuh anaknya, atau setidak-tidaknya bisa memberi kesan jelek kepada anak-anaknya. Saya tidak ingin berkomentar mengenai permasalahan rumah tangga Maia dan Dhani, fokus artikel ini lebih kepada bagaimana mengalahkan kemarahan. Dengan mengalahkan amarah itu, maka satu langkah kemenangan telah ada di tangan.
Penghinaan Materazzi, ataupun senyum Dhani dan anaknya yang bisa diterjemahkan sebagai ejekan oleh Maia, mungkin saja menimbulkan kemarahan yang tak tertahankan. Mengumbar kemarahan itu dengan kekerasan tidak akan menimbulkan hal yang baik. Dengan menelan kemarahan itu bukan menjadikan mereka pihak yang kalah. Mungkin terlihat kalah sesaat, tapi bila kemarahan ini menjadi pemicu prestasi maka akan terlihat siapa pemenang yang sesungguhnya.
Kuncinya? Tenang, jangan biarkan emosi menguasai dirimu, tapi jadilah tuan terhadap emosimu! Sudah berusaha tenang dan tidak emosi tapi secara manusiawi masih tidak mampu melawan kemarahan? Mohon bantuan pada Yang lebih Kuasa...doa! Tidak perlu dalam posisi doa formal, cukup dalam hati memohon bantuan Allah untuk menguasai emosi kita. Semoga kita bisa lebih bijak menghadapi kemarahan di tengah-tengah kesulitan hidup yang semakin membebani!
Harian Warta Kota hari ini tampil dengan berita utama "Maia Ahmad Mengamuk". Rupanya kekisruhan rumah tangga Dhani dan Maia yang terus di umbar kepada pers semakin rumit. Pesan Kak Seto (ketua Komnas Perlindungan Anak) agar keduanya ingat untuk tidak bertengkar di depan anak-anak mereka mungkin perlu ditekankan lagi agar tidak mengikut sertakan anak-anak mereka dalam pertengkaran mereka. Lihat saja kasus Tamara Blezynski, di mana anak bisa dibilang menjadi korban adu ego kedua orang tuanya.
Bulan Juli 2006 hampir seluruh dunia memuat berita utama tentang kemarahan Zinedine Zidane, pemain bola dari Perancis, yang menanduk Materazzi, pemain lawannya dari Italia. Hampir seluruh dunia kaget melihat reaksi Zinedine Zidane yang biasanya terkenal santun. Tidak sedikit yang mengecamnya karena acara dunia ini ditonton oleh anak-anak pencinta sepak bola. Melihat sang idola melakukan kekerasan tentu saja bisa mempengaruhi pandangan anak-anak terhadap perilaku kekerasan terhadap orang lain. Sementara akibat langsung bagi Zizou sendiri adalah harus meninggalkan sisa waktu pertandingan pada saat ia berniat mengakhiri kariernya dengan kenangan manis. Seorang kolumnis The Sunday Times (Singapore) menyayangkan bahwa Zizou tidak menggunakan kemarahannya untuk memimpin timnya memenangkan Piala Dunia. Kemampuan untuk mengalahkan kemarahan dan mengontrolnya dapat menjadi sumber energi, kemampuan, dan motivasi yang sangat besar.
Demikian pula dengan Maia, sayang sekali bila ia membiarkan kemarahan menutupi akal sehatnya. Kejadian ini bisa menjadi senjata Dhani untuk menjelekkan karakter Maia, sehingga pada akhirnya Maia bisa kehilangan hak asuh anaknya, atau setidak-tidaknya bisa memberi kesan jelek kepada anak-anaknya. Saya tidak ingin berkomentar mengenai permasalahan rumah tangga Maia dan Dhani, fokus artikel ini lebih kepada bagaimana mengalahkan kemarahan. Dengan mengalahkan amarah itu, maka satu langkah kemenangan telah ada di tangan.
Penghinaan Materazzi, ataupun senyum Dhani dan anaknya yang bisa diterjemahkan sebagai ejekan oleh Maia, mungkin saja menimbulkan kemarahan yang tak tertahankan. Mengumbar kemarahan itu dengan kekerasan tidak akan menimbulkan hal yang baik. Dengan menelan kemarahan itu bukan menjadikan mereka pihak yang kalah. Mungkin terlihat kalah sesaat, tapi bila kemarahan ini menjadi pemicu prestasi maka akan terlihat siapa pemenang yang sesungguhnya.
Kuncinya? Tenang, jangan biarkan emosi menguasai dirimu, tapi jadilah tuan terhadap emosimu! Sudah berusaha tenang dan tidak emosi tapi secara manusiawi masih tidak mampu melawan kemarahan? Mohon bantuan pada Yang lebih Kuasa...doa! Tidak perlu dalam posisi doa formal, cukup dalam hati memohon bantuan Allah untuk menguasai emosi kita. Semoga kita bisa lebih bijak menghadapi kemarahan di tengah-tengah kesulitan hidup yang semakin membebani!
Subscribe to:
Posts (Atom)