Tuesday, 24 June 2008

Jakarta, Semakin Tua Semakin Melebar…

Minggu, 22-06-2008 10:25:08 oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Peristiwa

Picture taken from the Museum Sejarah Jakarta, the Old City Hall of Batavia.

Kota Jakarta hari ini (22 Juni 2008) merayakan ulang tahunnya yang ke 481. Semakin tua dan semakin melebar dari kota asalnya. Berawal dari kota pelabuhan Sunda Kelapa, sebuah kota yang terletak di teluk Jakarta, yaitu di muara sungai Ciliwung. Kota pelabuhan ini merupakan pusat perdagangan yang sangat penting sejak awal abad ke 12, dan masih termasuk dalam wilayah Kerajaan Pajajaran.

Tahun 1522 terjadi perjanjian antara kerajaan Pajajaran dengan orang Portugis dari Malaka. Isi perjanjian tersebut memperbolehkan orang Portugis membangun benteng di Sunda Kelapa. Isi perjanjian ini ditentang oleh kerajaan Islam di Demak yang kemudian mengutus Fatahillah untuk menguasai Sunda Kelapa. Pada tanggal (yang diperkirakan sebagai) 22 Juni 1527, Fatahillah berhasil merebut kota pelabuhan ini dan mengganti namanya menjadi Jayakarta yang berarti "kemenangan berjaya". Karena itulah setiap tanggal 22 Juni kita merayakan hari ulang tahun Jakarta.

Kota ini terus berkembang, bahkan pada tanggal 30 Mei 1619 sempat berganti nama menjadi Batavia ketika Jan Pieterszoon Coen dengan bantuan orang-orang Belanda dari Maluku berhasil merebut kota ini. Awal Maret 1942 pada saat Jepang merebut kekuasaan dari tangan Belanda kota ini kembali berganti nama menjadi Jakarta.

Si Jagur, the famous canon where couples without children came to ask for fertility, now it is placed in the Museum Sejarah Jakarta-Historical Museum of Jakarta.

Bila melihat perkembangan kota Jakarta dari peta-peta tua maka akan terlihat kota ini semakin lama semakin gemuk melebar. Dari peta tahun 1619 terlihat Peta kota yang terpisah antara benteng di teluk Jakarta dengan wilayah kota yang terdiri dari Kota dan Jacatra. Wilayah di tepi sungai Ciliwung ini tidak besar dengan alun-alun yang letaknya di daerah taman Beos (depan stasiun Kota) sekarang. Dengan melihat besaran taman itu sekarang bisa terbayang betapa banyak perubahan yang sudah diambil waktu.

Menurut buku Jakarta Tempo Doeloe yang disusun oleh Abdul Hakim, Jakarta dari dulu memang terkenal sebagai kota banjir sehingga pernah mendapat julukan Venesia dari Timur. Dalam cetakan keempat buku Jakarta Tempo Doeloe (1993) dikatakan bahwa banjir pada saat itu masih disebut hujan 25 tahun sekali. Banjir besar pertama kali terekam di Batavia tahun 1932. Bayangkan dalam tempo singkat banjir menjadi banjir besar 5 tahunan dan mungkin juga bisa menjadi banjir tahunan.

Sekarang kalau kita membuka peta kota Jakarta maka peta kota sudah jauh berbeda, makin menyeruak ke Selatan, Barat, Timur, dan bahkan ke Utara yaitu ke Kepulauan Seribu. Dengan konsentrasi perdagangan dan kesempatan kerja yang sangat terfokus di Jakarta tidak heran kalau Jakarta bertambah gemuk dan semakin sulit diatur.

Crocodile bread, perhaps because people from Betawi were so familiar with this animal, their legends also talk about crocodiles.

Tempo dulu, katanya masyarakat Betawi memiliki mata pencaharian berkebun dan bertani, dengan jenis tanaman terutama buah-buahan. Sebuah lagu mengingatkan akan hal ini, tapi ketika itu masih dikatakan berasal dari Pasar Minggu, di kota banyak pembelinya. Kalau sekarang buat orang Serpong seperti saya maka Pasar Minggu adalah kota Jakarta...

Kalau berbicara tentang makanan maka penghuni Jakarta, termasuk pendatang seperti saya, biasanya kenal dengan gado-gado, asinan Jakarta, nasi uduk, dan kerak telor. Yang disebut terakhir ini memang masih sangat khas dan senantiasa identik dengan kota Jakarta.

Ada lagi makanan lain yang juga terkenal sebagai makanan khas Jakarta yaitu roti buaya. Buaya memang akrab bagi orang Betawi, mungkin karena zaman dahulu daerah berawa ini menyimpan banyak kisah dengan buaya. Salah satu dongeng Betawi adalah kisah Nenek Jenab dan Buaya Buntung yang juga dikisahkan dalam buku Gado gado Jakarta terbitan Grasindo.

A modern ondel-ondel, not as scary as the original or the old red face of ondel-ondel. Ondel-ondel with red face was used to frightened bad spirit. Ondel-ondel always came in a couple, the woman is not shown here as my boys prefer the one with the moustache; si abang jampang!

Dalam hal kesenian, biasanya yang paling khas dan langsung teringat adalah Ondel-ondel Betawi yaitu sepasang boneka besar (tinggi kurang lebih 2,5 m) dengan wajah seram. Rupanya wajah seram boneka laki-laki dan perempuan ini adalah untuk menakut-nakuti roh halus sehingga berfungsi juga sebagai penolak bala. Kalau sekarang boneka ini bisa ditemui dimana saja sebagai bagian dari penyambutan tamu-tamu terhormat.

Kesenian lain yang terkenal dari Betawi adalah lenong Betawi. Kalau dahulu lenong Betawi hanya ada dua macam yaitu lenong denes yang berkisah tentang kebangsawanan atau kerajaan, serta lenong preman yang berkisah tentang jawara Betawi dan cerita kehidupan masyarakat sehari-hari. Dengan adanya industri televisi, lenong semakin semarak dengan gaya lenong rumpi, lenong bocah, dll.

Betawi dancers dancing the modern computer dance (Konami type).

Memang sebagai kota tempat tumpah ruahnya berbagai macam kebudayaan, dan yang selalu terbuka terhadap berbagai unsur kebudayaan dari luar maka Jakarta menjadi etalase mini Indonesia. Berbagai suku bangsa lain selain Betawi mengisi keseharian Jakarta (dan menghilang di kala libur Lebaran tiba).

Demikian juga budaya-budaya lain masuk dan mempengaruhi kebudayaan asli. Keterbukaan Jakarta memang tersirat jelas dari kisah di artikel "Dari Sarinah sampai Abang dan None Jakarta" kontribusi Berthold Sinaulan di wikimu. Karena abang dan none Jakarta terbuka bagi siapapun yang mengenal dan mau mengembangkan budaya Betawi dan menjadi duta bangsa Indonesia di hadapan dunia global.

Semoga semakin tua berkembang dengan semakin bijak, menerima kemajuan teknologi dan ilmu tanpa meninggalkan budaya khas lokal.



Daftar Pustaka:

Gado-gado Betawi (Emot Rahmat Taendiftia, Syamsudin Mustafa, Atmanani R., penerbit Grasindo)

Jakarta Tempo Doeloe (penyusun: Abdul Hakim, penerbit Media Antarkota Jaya)

Note: not all pictures were shown in wikimu.com

2 comments:

Anonymous said...

Ondel-ondel's warning me I'd better pay my taxes on time, or else

Retty Hakim (a.k.a. Maria Margaretta Vivijanti) said...

Lagu Benyamin S dgn judul Kompor Meleduk dan Abang Pulang menyiratkan
keadaan kota Jakarta yg sering kebanjiran, kebakaran dan duka perantau yang
kembali ke kampung halamannya. Beberapa hari ini lagu2 Benyamin S saya putar
terus dan orang2 yang lewat depan meja saya senyum2 :p Menurut saya Bang Ben
sudah jadi maskot orang Betawi khas dengan karakternya yang sederhana dan
peka sosial. (Note: Kenyataannya Pak RT yg kebetulan juga orang Betawi di
dekat rumah di Sawangan, punya program untuk Bedah Rumah, bukan dengan
maksud masuk TIPI tapi hanya membantu warga yang rumahnya sudah mulai bobrok
dengan dana swadaya masyarakat sekitarnya.)

Jakarta sekarang juga identik dengan tata kota yang semrawut, dan sungai
yang masih kotor. Tapi saya masih berterima kasih dengan Pemda yang masih
mempertahankan bangunan2 tua di Jakarta sebagai cagar sejarah dan budaya.

Btw, nama belakangnya Kak Retty kok sama dengan penulis Jakarta Tempo
Doeloe? :) Salam, Inge

He..he…he…kebetulan aja namnya sama, nggak ada hubungan sama sekali kok…
Saya juga pengemar Benyamin S. lho…