Buah pena or fruit of the pen was started as an online diary of a citizen reporter. Time goes by, and I think being just a blogger is nicer than being a citizen reporter. Yet, it is important to keep a balancing diary. Online diary is kind of reporting too. So, I keep on doing my self experiment on living in the cyber space.
Saturday, 23 August 2008
Generasi Muda Kenalan dengan Reog Ponorogo
Sabtu, 23-08-2008 09:57:03 oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Gaya Hidup
Sebagai puncak perayaan peringatan Hari Kemerdekaan RI di sekolah Stella Maris, Serpong (BSD) dihadirkan pertunjukan reog Ponorogo. Pak Andy, guru bahasa Inggris yang lebih dikenal murid-muridnya sebagai Mr. Andy, dalam sambutan perkenalan sempat bertanya milik siapakah kesenian reog itu? Sekolah memang merupakan tempat pembelajaran di luar keluarga. Karena itu saya sangat menghargai upaya Sekolah Stella Maris untuk memperkenalkan kesenian lokal ini kepada murid-muridnya.
Perkenalan yang terjadi memang tidak lama dan hanya sekedar berkenalan dengan berbagai macam tarian Reog Ponorogo, seperti tarian singa barong, tarian jaran kepang, maupun penampilan warok. Unsur-unsur “mengadu ilmu” dibatasi sekedar penampilan tarian, maupun ketahanan fisik penampil. Hal ini cukup mendidik mengingat usia penonton bervariasi dari murid KB/TK hingga murid SMA.
Sifat anak-anak yang penuh keingintahuan tampak terlihat ketika saya melihat beberapa anak tampak bercakap-cakap dengan pemain musik yang mengiri penampilan reog itu. Mungkin mereka bertanya mengenai alat musik maupun tariannya sendiri. Di sudut lain lapangan beberapa anak SD tampak meniru gaya langkah warok sambil tetap asyik menonton. Ada juga bebarapa gadis kecil yang mengikuti gerakan gemulai wanita penari jaran kepang.
Dari jalan-jalan bersama “om gugel”, saya baru mengerti bahwa tarian jaran kepang tidak boleh disebut sebagai tarian kuda lumping. Walaupun sama-sama memakai tampilan kuda (jaran), keduanya tidak sama. Pada reog tradisional peran penari wanita ini juga ternyata diperankan oleh lelaki yang berpakaian wanita. Dalam acara kemarin reog yang ditampilkan adalah reog modern sehingga penari wanitalah yang tampil dalam tarian jaran kepang.
Reog rupanya merupakan hasil dari perlawanan seorang abdi kerajaan Majapahit bernama Ki Ageng Kutu. Sang abdi yang tidak senang melihat pemerintahan yang semakin korup, meninggalkan kerajaan dan mendirikan perguruan seni bela diri bagi para pemuda. Harapannya generasi muda ini akan menjadi penerus dan penyelamat Majapahit di kemudian hari. Pertunjukan seni reog merupakan cara Ki Ageng Kutu menyindir sang raja, dan membangun perlawanan rakyat lokal melalui kegiatan seni yang populer di masyarakat.
Sejarah dan rincian penampilan reog yang lebih lengkap bisa dibaca di portal Reog Ponorogo ini. Ternyata portal ini malah jauh lebih lengkap daripada di Wikipedia Indonesia. Wikipedia Indonesia malah berisikan keterangan lebih lengkap untuk verifikasi bahwa tari barongan adalah berasal dari Indonesia, atau lebih tepatnya dari reog Ponorogo (lihat disini).
Sayang sejarah reog ini tidak sempat diperkenalkan di sekolah, tapi setidaknya generasi muda yang ada disana kemarin sudah melihat bagaimana yang namanya reog Ponorogo. Seperti komentar anak saya: “Oh ini ya yang dicuri Malaysia itu?” Kalau kesenian ini kemudian diwariskan di negeri seberang (lihat juga Musical Malaysia, atau Dance Malaysia , serta Portal Kementerian Perpaduan Kebudayaan, Kesenian & Warisan Malaysia) oleh perantau Indonesia yang beranak pinak di Johor, sementara generasi muda Indonesia tidak tahu wajah reog, apakah bisa kita menuduh orang mencuri sesuatu yang tidak pernah generasi muda ini miliki?
Mengenal dan menyayangi kekayaan budaya sendiri akan timbul bila ada kedekatan, bukankah ada pepatah “Tidak kenal maka tak sayang?” Ayo, ramai-ramai mengajak generasi muda mengenali warisan budaya lokal!
We can't claim that Malaysia is stealing our heritage if we do not keep and preserve it. Reog, or known in Malaysia as Barongan, should be introduce to students so they know their heritage. Having this young generation's attention to our local culture can perhaps preserve the right to claim it our heritage. Reog is originally came from Java, as the artistic way of showing criticism to the King and the corrupted system in his Kingdom. Then the Javanese who went to Johor introduced it there. That's how mixed culture was started...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Makasih telah berkunjung ke Blog Beranda. Dalam beberapa postingan, saya juga menulis tentang citizen journalism bahkan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Post a Comment