Sunday, 10 August 2008

Bicara Perdagangan Manusia di Hari Anak Nasional

Rabu, 23-07-2008 09:07:42 oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Peristiwa



Tanggal 23 Juli di Indonesia biasanya diperingati sebagai hari Anak Nasional. Ketika mencari melalui mas gugel, saya menemukan di Kompas Cyber Media kalau sehari sesudah itu (24 Juli) menjadi peringatan diratifikasinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Artikel KCM yang menyandang tahun penulisan 2005 menyuarakan keprihatinan akan buruknya kondisi anak, serta bagaimana anak perempuan mengalami diskriminasi berlapis. Pertama sebagai anak, lalu sebagai perempuan.

Tiga tahun berlalu sejak tulisan itu diangkat oleh Kompas cetak (beruntung ada versi daring, jadi tidak perlu cari arsip atau koleksi klipping), dan situasi tidak jauh berubah. Malah dengan kondisi ekonomi yang semakin sulit ini, bukan tidak mungkin keadaan tersebut akan bertambah parah.

Hari Sabtu, 1 Juli 2008, harian Warta Kota mengangkat berita “200 ABG Dijual ke Bos Pijat”, 22 orang dari antara mereka rupanya masih termasuk kategori di bawah umur alias belum 17 tahun.

Hari ini, 22 Juli 2008, harian Warta Kota kembali meliput kelanjutan kisah para ABG itu di halaman dua harian cetak nasional ini. “ABG yang Ditangkap Jadi Pemijat Lagi” begitu judul beritanya. Kapolsektro Tamansari Kompol Imam Saputra, seperti terkutip di harian Warta Kota, menyatakan: “Ada berbagai latar belakang mengapa mereka mau bekerja lagi di tempat itu. Salah satunya adalah tekanan ekonomi. Ada juga yang dijadikan semacam jaminan utang oleh orang tuanya.”

Dalam hal ini tersirat adanya sebuah kenyataan perdagangan anak. Beruntung dengan keberadaan internet kita tidak lagi sekedar tergantung pada berita media untuk mengetahui adanya lembaga-lembaga yang bergiat di bidang anti perdagangan anak. Saya menemukan sebuah website yang berisi berita singkat Indonesia ACT’s (Against Child Trafficking).

Tekanan ekonomi memang mendesak kaum perempuan yang setiap hari bergelut dengan kebutuhan domestik. Bahkan pekerja migran perempuan kita juga rentan terkena penipuan yang ternyata merupakan jebakan perdagangan wanita. Belum lagi masalah penyiksaan dan pelecahan yang dialami oleh pekerja perempuan di berbagai negara tempatnya bekerja. Tidak heran kalau tidak sedikit orang yang tidak setuju dengan pengiriman tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri. Menurut saya pribadi tidak selalu pengiriman tenaga kerja ini bersifat negatif. Tidak sedikit juga keluarga yang terbantu secara ekonomi karena bantuan devisa dari luar ini. Belum lagi bila yang dikirim memang tenaga terdidik seperti perawat, maka kita bisa mempunyai tenaga perawat dengan kemampuan kerja yang teruji secara internasional.
Sebuah kisah pribadi di majalah Reader’s Digest Indonesia pernah menceritakan bagaimana pekerjaan sebagai helper di rumah tangga di Hong Kong bisa membantu penulisnya untuk meneruskan kuliah. Tidak sedikit memang kisah sukses yang terdengar sehingga semangat untuk mencoba peruntungan ke luar negeri tidak pernah surut, walaupun kisah sengsara yang dituliskan di media cetak tidak kurang sedikit.

Bulan April 2006 saya pernah mengikuti acara peluncuran Yayasan Sosial “Dewi Hughes International Foundation” di Jakarta. Yayasan ini bergerak di bidang antiperdagangan perempuan dan anak. Waktu berlalu, saya tidak terlalu banyak mendengar berita tentang yayasan ini, sampai tadi pagi (22 Juli 2008) melihat lagi di kolom Sosok dan Peristiwa harian cetak Kompas. Rupanya Dewi Hughes dan yayasannya sedang berusaha meningkatkan pemberdayaan UKM agar ekonomi masyarakat tertunjang dan kebutuhan untuk migrasi mengecil.

Satu hal menarik saya kutip dari ucapan Hughes di Kompas: “Kalau tidak punya skill yang memadai lebih baik jangan migrasi. Sekarang perlu edukasi tentang migrasi yang aman. Di tiap acara saya sering puterin film soal trafficking, biar makin banyak orang yang tahu bagaimana trafficking bekerja.”

Hughes sudah bekerja selama lima tahun sebagai duta antiperdagangan perempuan dan anak, sehingga memperoleh penghargaan dari Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk dedikasinya itu. Tidak heran bila dia menekankan pentingnya migrasi yang aman. Bagaimanapun kita tidak bisa menutup mata dari kebutuhan ekonomi masyarakat.

Di luar perempuan atau anak yang terjebak ke dalam perdagangan manusia akibat tekanan ekonomi, juga ada bentuk lain perdagangan anak. Dan kisah perdagangan anak tersebut ditampilkan dalam acara Kick Andy baru-baru ini. Bagaimana ada juga anak-anak yang memang sengaja diculik untuk dijual atau dipekerjakan. Hal yang sangat menakutkan bagi setiap orang tua yang memiliki buah hati. Karena itu keberadaan lembaga yang membantu pemerintah dalam menghadapi masalah-masalah perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak-anak, sangat penting untuk memperoleh dukungan semua lapisan masyarakat dengan cara mereka masing-masing.

Mungkin menarik untuk mengetahui bagaimana masyarakat dapat membantu sosialisasi lembaga-lembaga seperti “Dewi Hughes International Foundation”, maupun Indonesia ACT atau LSM lain yang mungkin tidak terdengar namanya karena bekerja dengan diam tanpa promosi media…

No comments: