Tuesday 22 April 2008

Kartini: Bukti Kekuatan Sebuah Tulisan!

Seringkali ada yang mempertanyakan kepahlawanan seorang Kartini, ada juga yang meragukan apakah dia sungguh-sungguh seorang tokoh emansipasi wanita. Memang Nusantara mengenal banyak pejuang wanita yang tampaknya jauh lebih hebat seperti Cut Nyak Dien, ataupun Christina Martha Tiahahu. Buat saya pribadi, Kartini adalah sumber inspirasi yang senantiasa menarik untuk dikenal. Perjuangan bukan selalu perjuangan secara fisik, tapi juga bisa melalui intensitas berpikir. Kartini bagi saya merupakan sebuah bukti dari kekuatan tulisan. Kumpulan surat-suratnya (beruntung dia memiliki sahabat pena yang rajin mengumpulkan surat-suratnya) menjadi bukti bahwa suara Kartini terus bergaung bahkan setelah lewat seratus tahun dari kepergiannya. Kalau Chairil Anwar berteriak "Aku mau hidup seribu tahun lagi", maka Kartini sudah menjalani sebagian dari seribu tahun itu.

Ada dua orang yang sangat besar perannya dalam kehidupan saya, yang pertama adalah Anne Frank; seorang gadis Yahudi yang harus bersembunyi dengan bantuan teman-teman keluarganya dari pengejaran terhadap seluruh kaum Yahudi di Belanda, dan yang kedua adalah R.A. Kartini; seorang gadis Jawa yang harus memasuki dunia pingitan karena tradisi. Keduanya berteriak akan kehausan mereka terhadap pendidikan. Saya membaca buku ini sebagai gadis kecil yang sesekali merasa malas pergi ke sekolah, merasa malas belajar, dan seringkali melihat sekolah sebagai sekedar sarana untuk bertemu teman-teman.

Keduanya menyadarkan saya betapa beruntungnya saya terlahirkan di masa sekarang dengan kesempatan yang begitu luas membentang bagi wanita. Baru-baru ini seorang teman membaca majalah Madina edisi April 2008, dan saya tertarik untuk mengintip isi majalah tersebut karena ada tulisan mengenai Kartini. Judul tulisan yang ditulis oleh Ida Rosyidah (Ketua Jurusan Perbandingan Agama di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) adalah: "Kartini: Belajar pada Guru yang Salah". Penulis artikel lebih banyak membahas peranan guru dalam konteks pendidikan Islam, tetapi isi tulisannya sangat menarik karena beliau menjabarkan pergulatan Kartini dalam pencarian identitas kehidupan religiusnya dan pentingnya peranan guru dalam proses pencarian itu. Sebuah hal yang juga sangat diperjuangkan oleh Kartini adalah hadirnya guru-guru dalam keluarga, kaum wanita yang lebih pandai yang akan mampu mendidik anak-anaknya dan memiliki nilai lebih dalam menentukan posisinya.

Ketika sebagian orang menuding Kartini sebagai tidak teguh berpegang pada sikap memajukan emansipasi karena menerima pernikahan poligami, buat saya (yang non muslim) tindakan itu terlihat sebagai anti klimaks dari pemberontakannya terhadap berbagai masalah keagamaan yang pernah dimilikinya, suatu tindakan penyerahan terhadap otoritas agama yang dianutnya. Bagi saya terlihat bahwa sikap ini merupakan pengorbanan terbesarnya yang mendahulukan kepentingan pendidikan bagi wanita. Karena dengan menerima pinangan itu, dia akan mampu melanjutkan cita-citanya untuk mendidik anak-anak bangsa, terutama bagi kaum wanita. Dalam suratnya kepada Nellie van Kol (1 Agustus 1903) dia menyatakan telah menemukan seorang pria yang akan membantunya dalam melaksanakan pekerjaan yang berguna bagi bangsanya. Dengan bantuan suaminya dia mewujudkan cita-citanya, setidaknya ini yang dikatakannya dalam suratnya kepada Bapak dan Ibu J.H. Abendanon (11 Desember 1903). Memang benar setelah pernikahan di bulan November 1903, pada bulan Januari 1904 Kartini sudah membuka sekolah di Rembang. Sayang sekali kehidupan Kartini setelah pernikahan ini sangat singkat. Tanggal 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan anak pertamanya, R.A. Kartini berpulang ke sang pencipta, usianya baru 25 tahun!

Ada dua hal menarik dari artikel tulisan Ida Rosyidah yang menarik bagi saya. Pertama pada kalimat: "Sangat disayangkan dari catatan surat-suratnya itu hampir tidak ada satupun yang menyiratkan bahwa dia melakukan dialog keagamaan secara intens dengan kalangan tokoh Islam." Penulis artikel di atas mengambil satu kemungkinan bahwa pertemuan dengan kalangan tokoh Islam tidak memuaskan dahaga intelektual Kartini. Tetapi ada kemungkinan kunjungan Kartini kepada para pemuka agama Islam menjadi terbatas sebagai kunjungan kekeluargaan tanpa dialog agama yang intensif karena mungkin pada masa itu tidak elok bagi wanita untuk berdiskusi mengenai agama dengan tokoh agama. Bayangkan, untuk pendidikan saja mereka tidak mendapat tempat, harus dipingit pada saat mencapai usia akil balik, bagaimana mungkin membayangkan dia beroleh kesempatan untuk diskusi?

Hal kedua yang menarik saya adalah pernyataan penulis: "Alih-alih mendapatkan wacana keislaman yang prograsif dari ahlinya, Kartini justru mendapatkan pencerahan dari Nellie van Kol, seorang Kristiani yang saleh. Hasil dari dialog intensnya dengan Nellie, Kartini dengan tegas menyatakan bahwa ia menjadi muslim yang berbeda dengan sebelumnya, yang mampu menemukan Tuhan dalam dirinya sendiri." Hal ini mungkin menunjukkan bahwa pintu dialog antar agama juga bisa mencerahkan selama dilakukan dengan pikiran yang terbuka. Kekuatan Kartini adalah karena dia memiliki sikap kritis yang tajam, tetapi juga memiliki pendalaman terhadap akar kebudayaannya sendiri seperti wayang, gamelan, bahkan pemahaman tentang takdir. Semua masukan itu diolahnya dan dikritisinya sampai akhirnya dia sendiri memutuskan untuk tetap bangga menjadi dirinya sendiri. Sebuah semangat yang timbul setelah melalui perdebatan pikiran dan pengolahan pribadi dari pertanyaan-pertanyaan kritis yang muncul dari pertukaran pikiran dengan sahabat pena dan pengetahuan yang dicarinya secara otodidak.

Nasionalisme Kartini terwujud dalam perhatiannya pada kecerdasan pemuda Agus Salim yang berasal dari Riau, Sumatera. Dia tertarik bahwa Agus Salim berhasil menjadi juara pertama dari tiga HBS. Sayang sekali bahwa perjuangan Kartini bagi kelanjutan pendidikan pemuda Agus Salim ke Belanda tidak jadi terlaksana. Pemuda Agus Salim merasa tersinggung pada pemerintah kolonial Belanda yang dianggapnya kurang menghargai kecerdasan dan jerih payahnya karena beasiswa baru ditawarkan setelah menerima usulan Kartini. Tetapi dari peristiwa ini kita tahu bahwa Kartini tidak hanya berpikir dalam lingkup bangsa Jawa melainkan sudah keluar ke pemahaman lokal sebagai Nusantara.

Maria Hartiningsih dalam artikel "Tak Lekang Dimakan Zaman: Surat-Surat Kartini" (Seribu Tahun Nusantara-Kompas) mengatakan bahwa hampir semua tokoh besar dunia meninggalkan written text (karya tertulis) yang bisa didiskusikan dan membuka kemungkinan untuk diinterpretasikan ulang. Kartini meninggalkan surat-suratnya sebagai warisan sejarah. Bisa jadi karya Dewi Sartika di bidang pendidikan lebih besar dari karya Kartini, tapi peninggalan tertulis Kartini menjadikannya lebih dikenal di dunia global. Surat-surat Kartini yang selalu memberikan pencerahan baru setiap kali saya membacanya dengan tingkat intelektualitas yang berbeda, merupakan bukti betapa kuatnya nilai sebuah tulisan!

Senin, 21-04-2008 15:58:12 oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Opini

Link tulisan tahun lalu: http://www.wikimu.com/News/displaynews.aspx?id=2123

1 comment:

Merlyna said...

Wah, ulasan-nya bagus! Patut dikirim ke koran.
Memang Kartini sering disalahpahami. Bahkan sisi positif dari dirinya pun sering disalahmengertikan.
Saya baru membaca surat2 Kartini ketika berumur 20-an. Wah, kagum sekali dgn pemikiran2 yang sangat jauh ke depan. Potret Kartini dari surat2 itu berbeda dgn potret Kartini yang saya dapat di bangku sekolah. Kartini adalah seorang intelektual, pemikir, dan sastrawati yang hebat.