Wednesday 15 October 2008

Blogger Sedunia 'Melawan' Kemiskinan

Rabu, 15-10-2008 09:52:45 oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Opini

Hari ini saya ingin menggabungkan suara dengan 7.000 blogger sedunia yang akan berbicara tentang kemiskinan dalam Blog Action Day. Sebagai warga yang tinggal di negara yang sedang berkembang, kemiskinan tidak pernah jauh dari pandangan mata kita.

Bagi saya yang tinggal di kota besar, kemiskinan yang terlihat di sini belum separah yang saya saksikan dari televisi terjadi di Afrika. Tetapi tetap saja kemiskinan itu nyata, mencabut anak-anak dari kesempatan memperoleh pendidikan (jadi teringat pada film Laskar Pelangi), dan menjauhkan mereka dari kesempatan untuk berada di dunia anak-anak yang bermain karena harus bekerja bertahan hidup, bergelut dengan kekerasan hidup sejak usia dini.

Sementara ini kita semua cemas dengan krisis keuangan global yang sedang melanda dunia. Bila krisis ini tidak teratasi maka akan semakin bertambah jumlah orang yang masuk ke dalam kategori miskin. Sebenarnya masyarakat yang sudah terbiasa dengan kemiskinan akan lebih mudah menerima tekanan kehidupan ini dibandingkan mereka yang terbiasa dengan kenyamanan materi. Bukan berarti hidup lebih mudah bagi mereka, tetapi karena mereka lebih tangguh menghadapinya. Karena perjuangan hidup sudah lebih nyata digelutinya.

Keterpaksaan yang memaksa orang-orang tinggal berdempetan di gubuk-gubuk dalam pemukiman liar ini adalah buah kekerasan ibu kota atau kota besar lainnya. Kota yang membutuhkan tenaga jutaan orang untuk mengisi gemerlapnya, tapi tidak memberikan ruang yang pantas bagi mereka yang setiap hari membersihkan kota ini dari sampah-sampah sisa pestanya.

Tetapi ketangguhan hidup ada di sana, mereka berjuang untuk kehidupannya sekaligus menjadi urat nadi yang sesungguhnya dibutuhkan kota ini. Sama seperti kebutuhan akan asisten rumah tangga di rumah, maka mereka yang mendiami wilayah kota yang dianggap kumuh dan sering tergusur itu adalah orang-orang yang tanpa terduga dekat dengan kebutuhan hidup kita. Mereka adalah tukang sayur yang sering kita temui di pasar, tukang sampah yang setiap hari mengambil sampah di depan rumah, penjual gorengan yang setiap hari kita cari, dan masih banyak orang lain yang semuanya beredar dalam kehidupan kita tanpa terlalu kita sadari.

Sebuah tulisan dari “Manila Standard Today” berjudul Exploiting Poverty mengingatkan kita betapa sering masalah kemiskinan hanya menjadi bahan eksploitasi dari para politikus, maupun aktivis yang ingin menjadi politikus. Bahkan penulis artikel itu lebih jauh lagi menyinggung tentang adanya kenyataan bantuan kesehatan bagi masyarakat Afrika, yang sebenarnya merupakan bagian dari penelitian pabrik obat, tanpa mereka tahu bahwa mereka sedang menjadi obyek penelitian.


Mungkin ini yang menyebabkan dahulu ketika sedang membantu penelitian tentang rumah susun di Jakarta, saya dan teman peneliti saya diikuti dengan pandangan memusuhi. Mereka merasa menjadi obyek penelitian yang nasibnya tergantung pada rekomendasi kami, dan mereka mengira bahwa arsitek yang terbiasa dengan keindahan tentunya juga akan menganggap mal dan pencakar langit lebih indah dari rumah gubuk mereka. Prasangka yang tidak sepenuhnya benar, karena toh ada almarhum romo Mangun yang seorang arsitek tapi mampu mendandani perumahan di kali Code sana. Hanya saja, kepedulian peneliti seringkali tidak tampak, bila pada akhirnya kepentingan politik yang lebih banyak berbicara.

Memberikan kontribusi dalam memberantas kemiskinan terkadang terasa sulit bila kita sendiri merasa masih dalam taraf yang “belum mampu” menolong. “Bagaimana mau menolong orang lain, bila diri sendiri saja belum sanggup berdiri tegak?” Mungkin pertanyaan itu yang ada di benak kita. Tetapi bila kita mau melihat hal-hal yang sederhana yang ada di sekitar kita, maka banyak hal yang bisa kita perbuat. Hal yang tampaknya kecil tapi mungkin berarti.

Ada anjuran untuk tidak membuang sampah sembarangan. Bahkan ada juga larangan untuk tidak membuang sampah dari mobil ke jalan raya. Tapi tidak sedikit yang melakukannya. Bahkan dari sebuah mobil bagus terlihat sebuah tangan yang dengan santai membuang sampah plastik sambil mobil tersebut membelok masuk ke halaman sebuah gedung pemerintahan di Harmoni. Ada yang beralasan, “Toh, itu memberikan pekerjaan bagi petugas pembersih jalan. Mengurangi pengangguran kan?!” Alasan yang dicari-cari! Ketika aliran air kotor dan sungai tersumbat, dan ketika kota terlanda banjir, apakah patut yang disalahkan hanya warga marjinal yang mendiami bantaran sungai dan permukiman kumuh? Tidak adakah kontribusi perumahan mewah di dalamnya? Tidak adakah kontribusi pemakai jalan di dalamnya?

Masih banyak lagi bantuan kecil yang bisa diberikan, entah dengan berbagi buku, berbagi pengetahuan, maupun memberikan bantuan lain bagi sesama (entah materi ataupun perhatian dan dukungan moril). Mari berjuang bersama melawan kemiskinan!

The translated version is not exactly the same as above, some parts are not translated.

Bloggers all over the world "fighting" poverty

Today I joined bloggers all around the world "to fight" poverty. Living in a developing country made me familiar with poverty, although the poverty I've seen in Jakarta, the capital city of Indonesia, is merely nothing to the poverty I've seen through the television, in Africa for example. Yet, the output of poverty is very obvious, it took away kids from their rights to attain education, it forced those kids away from their world pf playing as they are obliged to work as their family supporter since their early age (There is a good Indonesian film "Laskar Pelangi", the Knights of the Rainbow...poor children who fight together with their teachers to meet the rainbow of hope, a brighter future, through education).

The global financial crises could even add the numbers of those in the poor living standard. But I think those who live under that poor circumstances are sometimes tougher than those who are used to high standard of living. It's not because life is easier for the poor, but they are more ready to fight for being free from poverty. Their real everyday life teach them how...

Look at those huts in the big cities, the place that was called as the slum area. The city needs them but did not give them decent place to live. The city need those who live in it to keep the daily activity in the city goes on, to clean up the mess after each daily party of the glittering city..., but they are not welcome inside that city!

Those are though people! We do know them as our vendors in the traditional markets, our cleaning services, our newspaper delivery man, etc. We sometimes take them for granted. Look they went into that horrible small river to clean it up for all the citizens.

An article from the “Manila Standard Today” titled Exploiting Poverty is reminding us how often this poverty issue being used by politician or by activist who wants to be politician. The writer has mentioned the medical aid given to Africa that was in fact making the aid recipients as research objects without their consent.

Perhaps that is how those people felt when I was (more than fifteen years ago) conducting a research for the (semi) high rise low cost housing when they followed our steps with their unfriendly gaze. They, perhaps, thought that we were making them as our research object, and that we would asked the government to remove them from their huts. They probably thought that architects would prefer all those mall and fancy high rise building, while actually our proposal ended up forgotten as the government had their own political agenda.

Helping others seems so difficult if we feel that we are not yet financially able to stand even for our own selves. We are afraid to face the new global crises. But, actually there is always some small deeds that we can offer others. There could be books, knowledge, our attention and helping hands. Together we can fight poverty!

No comments: