Wednesday, 15 October 2008

Bingung Pornografi dari Mata Seni Rupa

Minggu, 28-09-2008 13:24:17 oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Opini

Perbincangan pornografi di wikimu menarik perhatian saya. Saya sendiri tidak menyetujui kehadiran pornografi, tetapi menurut pandangan saya (seperti yang juga ada dalam komentar bung Mieka di halaman komentar sebuah artikel mengenai RUU ini) Undang-undang yang sudah ada seharusnya sudah cukup mampu membendung arus pornografi secara hukum. Sementara, secara moral merupakan tugas agama dan orang tua untuk secara bijak bisa membantu mengarahkan manusia sedari kecil untuk menjauhi hal-hal yang tidak baik.

Ada dua buah patung dari Bali yang terpajang di rumah orang tua saya, sedikit berdebu dan mulai dimakan usia. Patung-patung itu mungkin sudah berumur lebih dari tiga puluh tahun. Mereka sudah ada sejak saya masih dibawah umur. Sebuah patung wanita cantik yang bertelanjang dada, hampir sama dengan gambar-gambar yang dilukiskan oleh Le Mayeur, atau beberapa gambar yang (kalau tidak salah ingat) pernah saya lihat di buku biografi Ni Pollok, istri Le Mayeur. Yang satu lagi merupakan karya yang cukup rumit dari satu batang kayu eboni, kayu hitam yang sangat keras, menggambarkan kisah Ramayana. Tampak Dewi Shinta yang sedang melarikan diri di dalam hutan. Dewi Shinta juga digambarkan bertelanjang dada. Bagi saya karya-karya ini merupakan gambaran hasil karya yang tinggi dari kerja kriya anak-anak bangsa.

Katanya dahulu di Bali, sama seperti di Papua, kaum wanita bertelanjang dada. Menurut berita yang pernah saya baca juga, kasus perkosaan di Bali meningkat setelah semakin banyak orang dari luar Bali yang masuk menetap disana. Di Papua malahan kaum lelaki juga memakai koteka sebagai penutup aurat mereka. Ketelanjangan di dalam terpaan udara dingin dan gigitan nyamuk malaria sama sekali tidak mengganggu mereka. Mungkin seperti kisah Adam dan Hawa, ketelanjangan itu sendiri tidak ada salahnya sampai otak manusia membuatnya menjadi salah. Dosa adalah hal yang membuat kita melihat ketelanjangan dengan mata berbeda.

Dalam pasal 1 ayat 1 Rencana Undang-undang Republik Indonesia tentang Pornografi dikatakan: “Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual
dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.”

Apa yang membangkitkan hasrat seksual seseorang tentunya berbeda dengan yang membangkitkan hasrat seksual orang lain, atau ketidak seragaman standard untuk dapat dianggap melanggar nilai kesusilaan dalam masyarakat. Lain ladang lain belalang, tidak heran bila lain tempat lain adat istiadat dan aturan berpakaiannya. Apakah negara akan mengatur secara detail semuanya dan mencoba menyeragamkan tata nilai bangsa Indonesia? Tata nilai yang mana yang akan digunakan? Apakah gambaran patung tadi menimbulkan hasrat seksual? Atau gambaran patung yang dilihat anak saya di sebuah pemeran senirupa (baca http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=3274), apakah dia menimbulkan hasrat seksual? Ada lagi karya Iriantine Karnaya yang menggambarkan gua garba alias vagina (lihat http://www.wikimu.com/news/displaynews.aspx?id=3365), apakah karya seperti itu yang jelas-jelas terinspirasi pada alat kelamin wanita dan dibuat oleh pematung wanita juga akan menjadi benda terlarang?

Hal ini penting diketahui karena dalam pasal empat dengan jelas tertuliskan:

Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat:
e.persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
f.kekerasan seksual;
g.masturbasi atau onani;
h.ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau
i.alat kelamin.

Lalu di pasal enam dan tujuh ada:

Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan.

Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Berarti kedudukan galeri, kolektor, maupun sponsor pameran seni rupa akan sangat rentan. Kritik sosial yang biasa tersampaikan melalui media seni bisa jadi terbungkam karena kebingungan akan batasan di atas.

Bingung karena batas yang tidak jelas juga akan tercipta dari pasal empat belas:

Pasal 14
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai:
a.seni dan budaya;
b.adat istiadat; dan
c.ritual tradisional.

Siapakah yang bisa memverifikasi batasan seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual tradisional ini? Dan bagaimana sikap bangsa terhadap adat istiadat yang dianggap bermuatan “pornografi”? Akankah latar belakang adat akan menjadikan satu suku bangsa lebih inferior “tata nilai”nya daripada yang suku bangsa yang lain?

Sebenarnya, memang terjadi perkembangan dalam dunia seni desain Indonesia bersamaan dengan perubahan agama yang dianut masyarakatnya. Ketika agama Islam masuk ke pulau Jawa, maka sedikit demi sedikit gambar binatang dan manusia menghilang dari tampilan benda seni yang diwariskannya. Hal ini juga terlihat bila kita mencoba membandingkan hasil karya ukir dari Jepara dengan hasil karya ukir dari Bali misalnya. Pengukir Jepara sangat ahli dengan ukiran daun, buah, dan mega/ awan, sementara proporsi untuk ukuran tubuh manusia senantiasa terasa memiliki sedikit kejanggalan. Sementara para pengukir dari Bali hampir selalu memiliki sentuhan proporsi tubuh yang tepat, hidup, dan dinamis. Hal ini memang hasil pengamatan pribadi yang masih perlu diperdalam dengan penelitian yang baku untuk memperoleh kesimpulan yang benar.

Sebenarnya saya sudah membuat foto dari patung-patung yang mengisi ruang tamu orang tua saya (bahkan membuat orang tua saya terheran-heran karena tiba-tiba saya berbaik hati membersihkan patung), tapi rasa takut dituding ikut menyebarkan pornografi membuat saya terhenti tidak jadi memuatnya ke wikimu. Mungkin juga nantinya patung-patung itu harus masuk gudang, atau harus disumbangkan ke museum. Tapi entah bagaimana dengan kehidupan galeri dan seniman, apakah semua perlu migrasi ke luar negeri? Koleksi lukisan yang dianggap “porno” itu kemudian bagaimana caranya dapat diapresiasi sebagai materi seni dan budaya? Adakah biaya tambahan untuk bisa memelihara dan menyimpan koleksi seni dan budaya?

Saya baru melihat dari segi seni rupa, bagaimana dengan seni tari? Apakah jaipong yang bagi sementara orang juga disebut bisa “memprovokasi” hasrat bisa diteruskan? Atau celetukan “nakal” di dalam teater, apakah harus dicekal? Bagaimana kelanjutan pertumbuhan seni dan budaya di Indonesia? Seribu satu pertanyaan menggelayut di pikiran orang awam yang buta hukum seperti saya…

Saya tidak mendukung pornografi, dan saya juga memiliki anak-anak yang perlu saya lindungi, tapi pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi benak itu tidak bisa membuat saya tenang menerima UU baru yang bisa-bisa hanya menjadi UUD (ujung-ujungnya duit…).

No comments: