Friday 11 July 2008

Benarkah Perempuan Bertopeng?

Kamis, 10-07-2008 14:11:07 oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Gaya Hidup


Pertanyaan ini mengisi benak saya ketika melihat pameran "Daya Perempuan" dalam rangka pembukaan galeri A2A bulan Juni lalu. Ada sebuah lukisan dari pelukis Choiruddin yang membuat saya cukup lama berpikir mengenai hal ini. Dalam lukisannya ia menggambarkan wajah Kartini, tapi di balik bayang Kartini yang retak terlihat juga gambaran wajah Marilyn Monroe.

Sang perupa, saat saya temui kemudian mengatakan bahwa lukisan itu sebagai gambaran perempuan yang merasa ikut mengangkat emansipasi seperti Kartini, tapi sebenarnya masih terikat pada sikap konsumtif dan kepalsuan yang direpresentasi oleh Marilyn Monroe. Sang perupa juga menyitir ucapan Naomi Wolff bahwa wanita terjajah oleh keinginannya sendiri untuk tampil. Gambaran ini juga diungkapkannya melalui sebuah karya berjudul "Kebangkitan Citra Global", dimana perempuan muda yang berseragam SMU ditampilkan memang tidak menggunakan topeng tetapi kepalanya tampak penuh bertaburkan impian Hollywood.



Sebuah lukisan lain yang juga saya temui dalam pameran ini berjudul "Dibalik Ceria Wajahmu" karya Mulyo Gunarso. Lukisan ini menampilkan wajah perempuan yang ditampilkan bak lukisan kanvas yang bagian ujung bawahnya sedikit terkuak dan menguakkan bulu-bulu yang beterbangan. Apakah makna dari lukisan ini? Dari judulnya terbaca betapa keceriaan yang seringkali tampil dalam wajah perempuan bisa jadi hanya sebuah topeng dari kegalauan yang ada di baliknya. Entah apa benar demikian yang dimaksud oleh perupanya.


Masih dalam bulan yang sama, saya melihat sebuah pameran lain di Galeri Nasional, Manifesto Seni Rupa. Sebuah karya tiga dimensi "Mimpi Sang Maestro" karya Suhartono menambah daftar karya yang menampilkan perempuan bermain dengan topeng.



Benarkah perempuan bertopeng? Ataukah sikap hidup yang diturunkan turun temurun dari generasi ke generasi yang membuat perempuan perlu bertopeng? Mungkin ketika kesulitan hidup perlu ditutupi dari hadapan buah hati mereka, maka perempuan memasang topengnya. Ketika suami melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga, di luar rumah perempuan tetap memasang topengnya? Atau ketika tampil di hadapan umum perempuan memasang topeng untuk menutupi kepalsuan hidupnya? Menutupi ketergantungannya pada hal-hal konsumtif? Ataukah itu hanya bagian yang ditangkap oleh perupa lelaki dalam memandang perempuan?

Atau mungkinkah perempuan memainkan topengnya seperti yang diinginkan sang maestro, yang dalam hal ini bisa jadi diterjemahkan sebagai laki-laki? Tidak heran kalau perempuan laris dalam lakon sandiwara. Bukan hanya kecantikannya yang mungkin menawan hati pemirsanya, tapi karena wajahnya secara alami sudah terbiasa memasang topeng? Topeng yang memenuhi hasrat maupun tuntutan orang yang memandanginya?

Bagaimana menurut pandangan anda?

Walking through the galleries and saw how men as artists portrayed women as using a mask made me wandering...Does a woman use a mask by native? A mask to hide her personal problems? A mask to hide her dependency to the consumptive way of life while pretending to be a modern, emancipated woman? This is not exactly the translation of my article in Bahasa Indonesia, but perhaps are the basic questions. Comments came in wikimu said that both women and men are using masks, it is really up to the personality of human being either to join the world of masking our true feeling and intention or not. Writing this note in English made me think of Cybil with her various "faces" (forgot the author's name of this psychological book).

1 comment:

Anonymous said...

Seorang wanita dalam film Monalisa Smile yg dibintangi Julia Roberts(rekomendasi saya untuk film tentang "thinking outside the box" atau pun tentang "emansipasi wanita") berkata pada anak perempuannya yang berniat bercerai dengan suaminya, "Don't wash your dirty cloths in front of the public" dan anaknya menjawab "see this picture Mom," menunjukkan gambar Monalisa, "Do you think she is happy? Everything is not as it seems...".... Adegan yang merupakan klimaks film ini terekam dalam ingatan :P (sampai hapal dialognya) Mungkinkah ini cerminan bagaimana kebanyakan wanita harus bersikap? Warisan generasi ke generasi seperti dalam film itu justruu meminta wanita menunjukkan kekuatannya untuk terus tersenyum meski diterpa kesulitan.. Tapi di sisi lain, kadang wanita harus bersikap adil pada dirinya sendiri ya, terlebih: menolong dirinya sendiri, apa sebenarnya yang diinginkannya...Jangan melulu memenuhi tuntutan ideal dari masyarakat :)

Salam Kak Retty, don't stop writing, dan jangan bosen terima komentarku :)

Inge Sundoko