Sunday, 18 May 2008

“Asal Usul” yang Menghilang

Jumat, 16-05-2008 10:06:20 oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Suara Konsumen



Ada yang hilang dari harian cetak Kompas sejak bulan Mei 2008. Asal Usul, sebuah rubrik kesukaan saya yang biasanya muncul di hari Minggu, sudah dua hari Minggu tidak muncul mengunjungi saya. Rupanya rubrik ini memang dihapuskan oleh Redaksi harian cetak Kompas, berita penghapusan rubrik ini saya temui dari blog Ariel Heryanto, seorang akademisi yang seringkali ikut mengisi rubrik "Asal Usul".

Saya memang menyukai rubrik yang satu ini, bahkan sedikit menyayangkan karena rubrik ini tidak mendapat jatah ruang di Kompas online. Salah satu artikel saya di wikimu.com pernah mengangkat topik yang berasal dari kolom Asal Usul (lihat http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=1762).

Sebenarnya saya sendiri kurang mengerti makna sebenarnya dari "Asal Usul", apakah asal-asalan mengajukan usulan, atau justru mencoba menggali riwayat sebuah kisah atau kejadian dengan lebih mendalam. Hanya saja saya merasa senang membaca isinya yang santai tapi cukup telak sebagai penyambung lidah rakyat.

Terkadang saya juga belajar berdialog antar budaya, misalnya dalam "Jabelan" yang dikisahkan oleh Suka Hardjana (Kompas, Minggu, 4 Februari 2007). Saya yang tidak mengenal istilah jabelan jadi memperoleh sedikit tambahan perbendaharaan bahasa Jawa. Belum lagi dengan adanya sedikit episode epik Bharatayuda yang membantu saya mengenal sekilas tentang cerita perwayangan tanpa perlu menonton wayang semalam suntuk. Sayang sekali karena rubrik ini tidak masuk dalam versi daring (online), karena menurut saya isinya bisa untuk terus berkaca dan memeriksa diri. Intinya jabelan itu menuntut kembali hadiah atau benda yang sudah diberikan kepada orang, bisa juga pembatalan kembali janji yang sudah diikrarkan. Yang saya suka adalah akhir dari tulisan ini yang ditutup perkataan: "Rakyat itu benar-benar hidup susah-mbok ya malu dikit gitu lho. Jangan sampai ada jabelan kuasa rakyat sungguhan. Bisa repot."

Baru-baru ini saya sempat tercengang ketika mengikuti acara pendidikan seks di sekolah anak saya, dalam sesi yang harus diikuti oleh orang tua dan anak itu baru saya tersadar betapa banyak definisi tentang seks dan seksualitas yang saya ketahui tapi dalam saat bersamaan betapa sedikit hal yang saya ketahui yang berhasil saya komunikasikan kepada anak saya. Banyak hal, termasuk pengalaman hidup, rupanya merupakan faktor penunjang dalam membuat sebuah definisi. Sementara itu bagaimana saya berkomunikasi tentang suatu permasalahan - yang dahulu mungkin tabu untuk dibicarakan orang-orang tua di dekat saya- kepada anak saya, ternyata masih kurang efektif. Saya jadi teringat kembali pada tulisan "Asal Usul" Ariel Heryanto di Kompas cetak (Minggu, 17 Juli 2005) tentang "Porno". Disana dikatakan betapa miripnya pornografi dan terorisme, betapa keduanya susah untuk didefinisikan. Tidak heran kalau komunikasi tentang kedua hal ini seringkali sulit bertemu karena dilihat dari sudut pandang berbeda.

Tulisan terakhir yang sempat saya nikmati adalah dari Mohamad Sobary berjudul "Dari Desa ke Indonesia" (Kompas, Minggu, 27 April 2008) yang mengisahkan sedikit oleh-oleh dari seminar pembangunan desa. Bagaimana pembangunan desa bisa menjadi salah satu strategi nation building dan character building. Kalau biasanya "Redaksi Yth" mendapatkan jatah halaman yang cukup besar di harian Kompas cetak Minggu, maka sejak dua minggu lalu hanya beberapa surat yang mendapat jatah untuk menggantikan isi rubrik "Asal Usul" di samping artikel menarik "Persona".

Apakah karena portal partisipatori warga sudah berkembang sehingga "Asal Usul" bisa tergantikan oleh suara langsung dari rakyat? Padahal dalam beberapa hal warga biasa model saya sebenarnya masih belum mampu merangkum berbagai suara yang berseliweran di sekitar saya, sehingga saya merasa masih membutuhkan orang-orang yang cukup berani untuk menyuarakan suara hati rakyat. Sedangkan untuk menuliskan tulisan dengan penelitian yang cukup dan tidak "asbun" memang membutuhkan tenaga, pikiran, dan tidak jarang juga biaya yang cukup berarti.

Apakah surat-surat pembaca lebih baik bila dimuat oleh portal partisipatori rakyat daripada di dalam media cetak? Biasanya surat-surat sejenis dari "Redaksi Yth" dimasukkan semua dalam jatah ruang yang cukup besar di harian Minggu, hal ini memungkinkan pembaca melihat berbagai macam keluhan dalam satu topik secara lebih obyektif.

Entah mengapa terjadi perubahan ini, kalau dari blog Ariel Heryanto bisa dibaca sedikit kisah "Asal Usul" dari sudut pandang dan pengalaman salah satu kontributor kolom tersebut, mungkin tulisan ini sekedar bisikan lirih dari seorang pembaca kecil yang tidak berarti.

3 comments:

C-Rett said...

Hi there! its nice to know there are other people having the same name. I'm retty felicia and also a fellow blogger... keep up the good work...

Mbah MD said...

Saya turut bersimpati dengan "dibungkamnya" Asal Usul. Btw, senang bisa baca-baca postingan di sini. Salam.

Retty Hakim (a.k.a. Maria Margaretta Vivijanti) said...

Terima kasih sudah dikunjungi.

Sepertinya saya kurang periksa lagi, ternyata Asal Usul ada versi online nya! Seingat saya waktu akan menulis tentang RUU Bahasa itu saya tidak ketemu rubrik ini di internet. Mungkin juga taraf gaptek saya masih terlalu tinggi waktu itu...