Kamis, 01-05-2008 12:54:11 oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Opini
Perlukah manusia memilih antara idealisme dan materialisme? Menurut saya, jangan pernah memilih! Idealisme dan materialisme tampaknya seperti yin dan yang, saling berkejaran dalam lingkaran harmoni.
Cikal bakal tulisan ini sebenarnya sudah lama berada di dalam PC saya setelah membaca artikel dari Bajoe (baca: Bayu) berjudul "Jurnalis Tolak Amplop, Perjuangkan Upah Layak Rp 4,1 Juta! (lihat http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=7261&post=1) dan tulisan Gus Wai yang berjudul "Berapa 0.5% dari 50 Juta?" (lihat http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=7229). Niatnya ingin disempurnakan tapi waktu berlalu dan kegiatan yang banyak membuatnya terbengkalai.
Tulisan Bajoe buat saya sangat menarik karena bukan hanya jurnalis yang akhir-akhir ini berjuang untuk memperoleh upah yang layak. Sebelumnya para guru juga ramai menggelar demo menyuarakan suara hati mereka. Hari ini (1 Mei 2008) kaum buruh juga ramai bersuara meminta keadilan upah yang layak (selain perlakuan yang layak dan manusiawi tentunya).
Artikel dari Bajoe menghasilkan komentar yang cukup tajam terhadap pemilik bisnis media yang menurut si pemberi komentar seharusnya lebih peka terhadap kebutuhan minimal para pekerjanya karena mereka berasal dari orang-orang yang punya idealisme pada saat pertama mendirikan media tersebut.
Sementara artikel dari Gus Wai mengingatkan saya betapa sering kekurang mampuan menganalisa dan mengelola keuangan menjadi bagian dari perjuangan orang-orang dengan idealisme ini untuk tetap bertahan membesarkan usaha sekaligus harus mengikuti arus kapitalisme yang nyata di dunia ini.
Kali ini saya ingin sekedar berbagi pengalaman pribadi (maaf kalau ngalor-ngidul), bagian dari sebuah perjalanan yang belum selesai...
Saya masih ingat ketika dahulu masih duduk di bangku SMA, terjadi diskusi kecil-kecilan (kalau tidak bisa dibilang perdebatan kecil) mengenai cinta dan materi. Harap maklum karena murid sekolah saya isinya wanita semua sehingga perdebatan lebih bebas dan terbuka. Seorang sahabat berkeras bahwa cinta perlu memperhatikan materi, jangan pernah jatuh cinta pada pria yang miskin karena kehidupan tidak pernah ramah kepada orang miskin. Seorang teman punya pendapat lain, karena walaupun pria tersebut miskin toh mereka berdua bisa bekerja dan saling membantu. Saya lebih memihak teman yang kedua, pertama karena pendapatnya lebih manusiawi dan tidak membeda-bedakan latar belakang, kedua karena memang saya punya banyak contoh dalam keluarga saya yang berangkat dari kehidupan yang boleh dianggap miskin, tapi bertekun belajar dan bekerja sehingga akhirnya mencapai kesuksesan dalam berusaha.
Teman pertama tetap ngotot dengan pandangannya, menurutnya ide "bibit, bebet, bobot" itu tidak kuno melainkan berasal dari pemahaman yang sangat bagus dari orang Jawa terhadap kehidupan manusia (teman saya ini orang Batak). Walaupun punya pacar yang belum kaya, asal terlihat bibit, bebet, dan bobotnya bukan "madesu" (masa depan suram) barulah boleh diperhitungkan dalam kategori "layak dipacari".
Debat kusir tidak pernah punya kesepakatan, dia dengan pemikirannya (karena tidak bertemu lagi, entah bagaimana pendapatnya sekarang...) sementara teman yang lain dan saya tetap bertahan cinta harus ditempatkan lebih tinggi dari materi dan bibit, bebet, bobot itu. Demikian mungkin idealisme seorang anak muda bila menghadapi pandangan yang lebih umum dianut para orang tua tentang cinta.
Awalnya pembicaraan itu buat saya sekedar intermeso, karena saat itu saya sama sekali belum berniat pacaran apalagi cari suami. Lagi pula buat saya mencari pasangan hidup bukan hitungan dagang! Terlebih lagi saya merasa sebagai idealis sejati, idealisme tidak pernah boleh dihitung dengan materi!
Saya sendiri tidak pernah menyukai angka-angka. Walaupun nilai sekolah saya tidak terlalu bermasalah (kecuali Kimia he..he...he...), tetapi pada dasarnya saya selalu tidak senang berurusan dengan angka. Sebenarnya saya inginnya kuliah di jurusan psikologi tapi tidak diterima (waktu itu universitas swasta yang punya jurusan psikologi belum menjamur seperti sekarang). Saya masuk ke jurusan Arsitektur itu karena terjebak ucapan senior-senior yang meyakinkan bahwa jurusan Arsitektur tidak perlu menghitung banyak. Menurut mereka Matematika hanya ada dua semester, tidak berat! Fisika Bangunan hanya empat semester dan tampaknya materinya termasuk yang saya sukai, OK! Ternyata setelah tiba di dalam, o..la...la...ada Teknologi Bangunan, ada Utilitas...ternyata jadi arsitek bukan sekedar menggambar bangunan!
Kuliah yang melelahkan dengan banyak tugas yang membuat saya belajar jadi kalong, ketika lulus ternyata berhadapan dengan kenyataan bahwa pasar memberikan imbalan lebih tinggi kepada lulusan pendidikan sekretaris yang pendidikannya hanya selama tiga tahun (terkadang belum lulus sudah disambar perusahaan) atau lulusan ekonomi yang di kampus terlihat lebih banyak waktu luang daripada kami yang di jurusan Teknik. Tidak heran banyak teman-teman yang terlihat berbakat sebagai arsitek malah banting setir memasuki dunia perbankan yang menjanjikan imbalan lebih besar daripada menjadi arsitek yunior.
Saat itu imbalan menjadi arsitek yunior sama dengan yang ditawarkan sebuah usaha penerbitan di bidang media teknologi, hanya tawaran yang kedua ada catatan tambahan yaitu membawa kendaraan sendiri untuk peliputan. Berarti kedua profesi ini saat itu masih setara penghargaannya.
Sebenarnya saya selalu tertarik pada bidang penelitian, terutama masalah perkotaan, tapi takut menjadi frustrasi dan stress karena tahu benar susahnya menjadi orang idealis yang nyemplung di dalam bidang ini di Indonesia. Akhirnya setelah meloncat kesana kemari, mencari-cari tempat yang pas untuk hinggap saya pikir membantu usaha calon suami bisa lebih berguna untuk menyalurkan idealisme. Selain membangun usaha dan menambah lapangan pekerjaan, kami juga bisa lebih nyata melaksanakan praktek keadilan.
Bekerja untuk perusahaan sendiri ternyata jauh lebih berat daripada bekerja bagi orang lain. Selain harus mendesain, menjadi mandor, juga harus bisa menguasai keuangan. Wualah...ketemu angka lagi! Urusan hitung-menghitung bahan, gaji dan biaya produksi terkadang bisa mengalahkan idealisme. Yang ideal dalam desain bisa menjadi bencana dalam praktek karena biaya yang membumbung tinggi! Sebenarnya disinilah sebenarnya dibutuhkan sinergi antara para idealis yang hanya sanggup berkreasi dengan para realis yang sanggup mempertahankan kestabilan profit.
Membaca artikel Gus Wai, saya jadi tersadarkan betapa banyak faktor yang mungkin lalai tidak terhitung dalam menghitung profit sehingga seringkali banyak proyek tidak berarti banyak keuntungan (terkadang bisa malah buntung kalau tidak pandai kalkulasi).
Kembali ke faktor idealisme, setelah bekerja sendiri mampukah terus bertahan dalam idealisme? Ternyata banyak hal lain yang ikut meramaikan pertempuran batin. Banyak hal yang merupakan perputaran siklus masalah antara idealisme dan materi. Tenaga kerja yang kurang kompeten mengakibatkan berkurangnya keuntungan. Pengaturan waktu yang tidak efisien juga mengurangi keuntungan. Kemampuan manajerial di lapangan dan dalam bidang keuangan sangat diperlukan untuk bisa menyehatkan perusahaan dan bisa memampukan untuk terus memperhatikan kesejahteraan karyawan.
Bahkan bila ternyata perusahaan bisa berjalan lancar, masih ada perkembangan dan persaingan yang akan terus mendera. Perjuangan mencapai keseimbangan antara perolehan keuntungan dengan biaya ekspansi dan pembagian untuk kesejahteraan karyawan akan terus berlangsung. Belum lagi tuntutan pekerjaan di zaman yang serba cepat (instan) ini terkadang membuat tuntutan waktu kerja yang tidak lagi berimbang dengan keadilan yang sepatutnya diterima karyawan, atau mungkin bila dilihat dari sudut pandang pengusaha bisa berarti efektivitas kerja karyawan yang tidak maksimal.
Ternyata menjadi pengusaha tidak semudah yang dibayangkan bila seseorang menjadi pekerja. Tidak jarang kemacetan cash flow (aliran dana) membuat tambahan hutang ketika harus mengeluarkan Tunjangan Hari Raya. Yang adil bagi karyawan terkadang menjadi kerugian bagi pengusaha. Ini memang masalah pengusaha kelas teri, saya kurang tahu bagaimana dengan perusahaan besar yang bisa mengail keuntungan besar apalagi bagi media yang memperoleh pendapatan iklan yang besar.
Inti yang ingin saya sampaikan adalah perlunya menyeimbangkan kemampuan berpikir idealis dengan kemampuan berpikir realis. Kehidupan di dunia memang secara nyata membutuhkan materi.
Pernah saya berpikir bahwa materi tidak penting, kebersamaan dan cinta pasti lebih berharga daripada materi. Tetapi begitu mempunyai anak dan kebutuhan yang perlu dicukupi untuk mereka, barulah terasa betapa materi tidak boleh juga disepelekan.
Ada artikel lain yang menarik perhatian saya, artikel dari penulis muda yang masih anak SMA, Lydia Florencia, berjudul "Under Pressure: Benarkah Rasa Ini Merajai Hubungan Orangtua dan Anak?" (lihat http://www.wikimu.com/News/DisplayNewsSekolah.aspx?id=7180&post=19), dari artikel tersebut timbul komentar-komentar yang menarik.
Seorang komentator, Darmadi, berpandangan bahwa materi merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Bila anak sanggup berfokus pada pencarian materi (mungkin maksudnya popularitas dan uang) maka teruslah berjalan, orang tua pada akhirnya akan takluk bila anaknya berhasil karena pada dasarnya yang memegang uang yang lebih memiliki kekuatan menawar. Komentar terakhir Lydia mengharapkan sang komentator tidak melihat persoalan hanya dari sisi materi.
Ada aspek dari kometar Darmadi yang sangat realistis, betapa seringkali pemilik materi memiliki kekuatan yang lebih besar daripada yang tidak memilikinya. Bahkan di dunia internasional negara maju yang notebene lebih kaya akan lebih bergaung suaranya daripada negara berkembang.
Hanya tentu saja manusia tidak bisa juga hanya berfokus pada materi, karena seperti roda kehidupan itu terkadang di atas terkadang di bawah, bila terfokus pada sikap mendahulukan materi dan masuk ke dalam kondisi roda di bawah yang keretanya sedang berhenti melaju, maka frustrasi dan stress belaka yang dituai.
Seperti prinsip yin dan yang, prinsip keharmonisan yang selalu ada di dunia ini, idealisme dan materi akan selalu berkejaran. Perlu kepandaian untuk menyeimbangkan keduanya karena kita hidup di dunia yang satu. Melulu berpikir secara idealis akan menyulitkan kita hidup di dunia nyata, sementara berpikir hanya dalam koridor materi juga tidak akan memberikan kebahagiaan yang dicari dalam dunia ini. Idealnya bila sanggup menyeimbangkan keduanya dan senantiasa mengingat hak orang lain sebelum menuntut hak pribadi. Dengan prinsip ini setiap pekerja, dari buruh kecil sampai pegawai tingkat atas akan mengingat kewajiban mereka kepada perusahaan dan senantiasa mendahulukan kepentingan perusahaan, sementara pemilik perusahaan juga senantiasa mengingat kewajiban mereka terhadap asset hidup perusahaan yang turut membesarkan perusahaan mereka.
Selamat refleksi diri di hari Buruh Internasional ini, semoga kedua belah pihak (pengusaha dan pekerja) bisa saling menunjang dalam memajukan perusahaan! Dengan bantuan pemerintah, akhirnya perusahaan juga bisa membantu memajukan negara!
2 comments:
Dear Kak Retty, tadinya malah saya mengira Kak Retty itu seorang psikolog, membaca tulisan di wikimu, menyiratkan begitu... Sorry, baru baca sekilas :P ..wuah ada langsung "beli satu dapat satu" >> kembar? salam buat the twins ya kak, brgds, Inge
berat emang mbak retty. saya sendiri dalam usaha mengatasi dikotomi materialisme dan idealisme sampai membuahkan sebuah novel, yang gak selesai2 sampai sekarang... :p
Post a Comment