Sunday, 11 January 2009

Apakah Manusia Selalu Berubah?

Saya tidak terlalu mengenal Marco secara dekat, saya hanya ingat dia mahasiswa cemerlang yang mendapat beasiswa ke Leuven. Pertemuan pertama kami adalah di pertemuan Arsitek Muda Indonesia. Saat itu saya masih mahasiswi tingkat akhir. AMI sendiri baru dibentuk rasanya.

Kemudian saya bertemu lagi dengannya ketika membawa teman-teman Architecture Study Group dari Indonesian Heritage Society ke Wisma Danamon (sekarang jadi Sampoerna Building).

Ada beberapa kali kami bertemu, atau sekedar percakapan lewat e-mail. Mungkin juga sekarang dia tidak ingat lagi nama saya.

Tapi saya benar-benar terkejut membaca tulisan di milis Penulis Lepas
--- On Thu, 1/8/09, Satrio Arismunandar wrote:

Subject: Marco Ketua Dewan Kesenian Jakarta Mengusir Saut Situmorang dkk
Date: Thursday, January 8, 2009, 10:53 PM

Jumat 19 Desember 2008 kira-kira jam 2 siang lebih. Saya Saut Situmorang, Wowok Hesti Prabowo dan Viddy A Daery masuk ke sebuah ruangan tempat diadakannya "mukernas" dewan kesenian se-Indonesia di hotel Sheraton Media Jakarta. Saya mendapat info bahwa mukernas tersebut akan membahas soal "dewan kesenian Indonesia" yang beberapa waktu dulu ide pembentukannya mendapat tentangan keras dari banyak seniman. Ide awal pembentukan dewan kesenian Indonesia tersebut, kata orang, berasal dari Ratna Sarumpaet dan dia hari itu akan memberikan pidato tanggapan atas idenya yang mungkin dia rasa dicuri orang itu. Sebuah acara menarik untuk ditonton, bukan? Di pintu masuk ruangan mukernas itu saya sempat disapa oleh seorang cewek yang bekerja untuk Dewan Kesenian Jakarta alias DKJ, yang merupakan tuan rumah mukernas. Di pintu masuk saya tidak melihat ada pengumuman "YANG TIDAK DIUNDANG DILARANG MASUK!".

Setelah
berada di dalam ruangan saya dipanggil oleh Iyut Fitrah kawan penyair dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Dia minta saya duduk dekatnya. Saya pun pergi ke arahnya dan duduk di sebuah kursi di dekatnya. Begitu pula Wowok dan Viddy. Sambil ngomong-ngomong, saya bagikan jurnal keren "boemipoetra" yang segera saja beredar ke meja-meja para peserta mukernas. Saya juga melihat bekas adik kelas saya di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara dulu, Jabatin, duduk di meja dekat saya itu dan saya pun menyapanya. Wowok kemudian berdiri dan mulai membagikan "boemipoetra" ke meja-meja di sudut lain ruangan. Saat itu Ratna Sarumpaet sudah berdiri di podium setelah
diundang untuk memberikan pidatonya.

Pada waktu itulah tiba-tiba saja terdengar suara seseorang berteriak membentak, "Wowok, keluar!!! Anda tidak diundang, keluar!!!" Begitulah kira-kira bunyi teriakan tersebut yang ternyata berasal dari mulut seseorang bernama Marco yang adalah ketua Dewan Kesenian Jakarta. Wowok merespon dengan mengatakan bahwa dia "diundang" oleh Ratna Sarumpaet. Ratna membenarkan waktu Sang Marco mengkonfirmasikanny a ke dia. Tentu saja peristiwa itu menciptakan suasana tegang. Para peserta pun nampak kaget heran kebingungan penasaran. What the fuck is going on? Saya yakin begitulah yang mereka gumamkan dalam gumaman mereka. Lalu tiba-tiba lagi suara tadi berteriak membentak lagi, "Saut, keluar!!! Saya tidak mengundang Anda, keluar!!!" Saya nyaris gemetaran mendengar bentakan yang kayaknya dikeluarkan pakek sinkang ala ilmu Auman Singa Kim-mo Say-ong Cia Sun dari kitab "Ie Thian To Liong" karya Chin Yung itu! Kemudian Sang Pangcu DKJ itu melambai-lambaikan jurnal
"boemipoetra" ke udara sambil berkata sesuatu seperti "Dilarang membagikan 'boemipoetra' di sini. Ini cuma berisi fitnah!". Untunglah berkat latihan Kiuyang Sinkang yang saya pelajari dari Bu Kie saya cepat memperolah ketenangan saya kembali dan segera menjawab Sang Pangcu DKJ itu, "Kalau benar jurnal 'boemipoetra' adalah fitnah, silahkan bawa kami ke pengadilan!" Di tengah-tengah keributan itu saya mendengar Ratna Sarumpaet berkata sesuatu seperti kenapa acara kesenian bisa jadi sekaku ini, atau yang mirip-mirip itu maksudnya. Lalu, entah dari mana nongolnya, seorang laki-laki bertampang sangar kayak "bouncer bar" di Selandia Baru sana mulai juga berteriak-teriak sambil berpidato di tengah ruangan bahwa dia akan membubarkan acara tersebut! Pokoknya penuh otoritas macam itulah. Saya gak kenal makhluk
aneh ini tapi Wowok kemudian di taxi mengatakan dia itu orang DKJ juga. Karena bosan mendengar retorika kekuasaannya itu saya berdiri dan mengajak Wowok dan Viddy untuk keluar saja dari hiruk-pikuk drama kekuasaan Dewan Kesenian Jakarta tersebut. Banyak juga ternyata peserta dari dewan kesenian se-Indonesia di situ yang keluar ruangan. Waktu saya mulai beranjak dari tempat duduk saya itulah Sang Marco, sambil tetap teriak-teriak, mendatangai saya dan tiba-tiba saja memegang lengan kiri saya. Tentu saja secara spontan ilmu Kiankun Taylo-ie Sinkang dari Bengkaw yang juga saya warisi dari suhu Bu Kie bereaksi cepat dan saya tampar tangan jahat yang penuh racun itu! Dia nampak kaget jugak rupanya, hahaha... Tapi dia tidak melakukan apa-apa lagi dan kami bertiga pun keluar dari ruangan pibu itu dengan penuh kemenangan.

Di luar, seorang kawan dari Jawa
Tengah yang juga salah seorang peserta mukernas tersebut menghampiri dan menyalami kami. Oiya, di luar itu saya juga tidak melihat ada pengumuman, "DILARANG MEMBAGIKAN 'BOEMIPOETRA' DI DALAM RUANGAN!"

Bagaimana ya seandainya yang kami bagikan itu adalah majalah "Kalam" milik Teater Utan Kayu? Apa kami akan mendapat perlakuan yang sangat premanis, ketimbang Pramis, begitu? Siapa sebenarnya yang direpresentasikan Marco dan Dewan Kesenian Jakarta-nya di acara dewan kesenian se-Indonesia tersebut? Lucunya lagi, waktu dia membuat kericuhan di acara dewan kesenian se-Indonesia itu, tidak pernah sekalipun dia menanyakan pendapat para peserta mukernas soal "kehadiran" kami, apa mereka keberatan atau tidak! Menurut SMS seorang kawan yang juga peserta "diundang" acara, setelah kami bertiga keluar ruangan, para peserta dipaksa untuk "mengembalikan" kepada DKJ jurnal "boemipoetra" yang sedang dibaca
para peserta tersebut! Banyak juga, kata kawan tersebut, yang tidak bersedia "mengembalikan" jurnal keren kami itu, hahaha...

Oiya, ada yang bilang (saya tidak tahu benar atau salah karena saya sendiri tidak diundang juga, hehehe...) ada yang bilang bahwa para peserta mukernas dewan kesenian se-Indonesia itu dibawa Marco dan DKJ-nya makan malam di Salihara, hahaha...

Saut Situmorang

http://www.facebook .com/profile. php?id=554828232 &ref=name
http://sautsitumora ng.multiply. com/

-During times of universal deceit,
telling the truth becomes a revolutionary act
(George Orwell)


Apa iya Marco bisa seperti itu? Ada apa di balik kejadian ini?
Berjuang di dalam sistem terkadang memang menyesakkan, dan butuh ketangguhan lebih untuk tetap bertahan waras di dalamnya. Mungkin saya kurang mengenal Marco, tapi rasanya dia tidak memiliki sifat kasar seperti itu...

Sebenarnya saya mengharapkan lebih dari seorang Marco. Tadinya saya pikir dia akan meneruskan perjuangan pak Bian Poen dalam bidang tata kota.

Terlepas dari Marco, saya juga jadi bertanya-tanya ada apa dengan DKJ, sejak masalah lukisan yang heboh itu sepertinya masalah antara seniman dan DKJ tidak juga tuntas.
Kesenian Indonesia sebenarnya sebuah mutiara yang perlu diasah, dan diperkenalkan dengan profesional. Sayang sekali kalau akhirnya hancur hanya karena pengasahnya tumpul saling beradu.

Ketika saya bertanya dalam hati, apakah Marco demikian berubah? Orang yang tampak santun bisa berubah dalam kurun waktu yang berlalu? Atau memang manusia selalu berubah? Tergantung situasi dan kondisi yang melatar belakangi kehidupannya? Atau mungkin juga manusia justru tidak pernah berubah? Sejak dahulu bangsa ini terkalahkan karena politik adu domba. Kalau kita masih selalu mengedepankan pertengkaran dan bukannya komunikasi maka kita mungkin tidak pernah berubah...reformasi yang didengungkan bisa jadi hanya sekedar mengembalikan bentuk ke masa silam dimana pertengkaran dan ketidak-rukunan yang menjadi tuan.

2 comments:

Qoenang-Qoenang said...

Mmmm.. kalau yang dimaksud adalah temperamen yang berubah, memang bisa:

From: Ratih Andjayani Ibrahim
To: Rediningrum
Sent: Thursday, January 15, 2009 7:51 PM
Subject: Re: betulkah temperamen manusia bisa berubah?

bisa saja

2009/1/15 Rediningrum
betulkah dengan adanya pengalaman yg menyakitkan bisa membuat temperamen orang berubah?

Di atas jawaban psikolog itu. Tapi kalau yang dimaksud adalah keheranan mengapa orang well educated sering bersikap barbar, saya juga sering terheran-heran, Kak Retty...hehehe..

Yah aku tak tahu apa yang dialami Pak Marco persisnya, atau latar belakang konfliknya, atau mungkin beliau cuman harus memperbaiki seni berkomunikasi.

Peace,

Anonymous said...

ya itulah manusia. banyak beruba apabila ada sedikit kekuasaan, yang lebih parah lagi kalo penusiran itu dilandasi kecemburuan antar sesama pecinta seni dan budaya. tak kirain budaya dan seni g ada konflik eh ternyataaaa capek deck