Wednesday 19 November 2008

Mengintip Istana Merdeka dan Gedung Putih

Senin, 17-11-2008 15:45:30 oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Peristiwa

Judul artikel ini memang ‘mengintip’, karena rasanya saya hanya sempat melongok sebentar dan keluar lagi. Waktu yang lebih lama habis di halaman parkir. Waktu inipun tidak efektif terpakai karena panas yang menyengat membuat teman-teman Wikimu berkelompok di bawah tenda-tenda yang tersedia, sehingga harus lebih rajin menyambangi dan kenalan ke beberapa tenda untuk mencocokkan antara wajah di wikimu (dan imajinasi saya) dengan aslinya.

Walaupun Istana Merdeka berwarna putih, tetapi yang saya maksud dengan Gedung Putih adalah The White House di Amerika. Penasaran? Simak saja tulisan ini…

Sehari sebelumnya di rumah sudah terjadi kehebohan kecil. Si kembar ingin ikut ke istana, tapi saya tolak dengan alasan hanya anak kelas 5 SD (usia kakaknya) yang boleh masuk istana. Mereka ngambek dan menyembunyikan kartu perpustakaan kakaknya yang akan saya jadikan pengganti kartu pelajar. Pada hari ‘H’, terpaksa mereka sedikit dikecoh sehingga saya dan Ray, putra tertua saya, bisa ‘aman’ meninggalkan mereka di rumah kakek dan neneknya.

Menunggu terasa membosankan, bahkan bagi saya yang masih bisa bertegur sapa ke sana kemari. Tidak heran beberapa anak yang ikut kemudian menjadi rewel ingin pulang saja. Anak temanku dengan gemas berkata, “Ayo ibu, pulang saja. Mau masuk istana saja kok susah banget!” Tentu saja kami tersenyum mendengarnya. “Nanti kalau Bayu yang jadi presiden, dipikirkan ya bagaimana supaya rakyat yang mau lihat istana tidak usah capek,” jawab saya menghiburnya (Nama anaknya kebetulan memang Bayu, jadi bukan nama mas admin wikimu yang tersohor. Tapi hak jadi presiden bisa buat siapa saja kok…). Maklum, dia dan keluarganya sudah ada di sana sejak menjelang pukul delapan pagi.

Saya termasuk rombongan wikimu 4, rombongan terakhir dari Wikimu yang memasuki istana. Bukan hanya petugas yang bisa bikin aturan, ternyata rakyat juga suka membuat aturan sendiri. Ketika kami baru memasuki ruangan untuk melihat film pengantar kunjungan, pemandu meminta kami mengisi barisan di kiri ruangan terlebih dahulu. Baru saja duduk, ibu-ibu yang duduk di depan kami meminta kami pindah dengan alasan tempat duduk itu khusus untuk rombongan (mereka). Baru merasakan nyamannya pendingin udara di dalam ruangan, membuat saya tidak ingin bertengkar mengenai kursi. Toh, nanti kami juga harus berdiri lagi…

Sayang sekali kami tidak boleh memotret, selain dipotret di tangga depan istana Merdeka oleh pemotret istana. Banyak hal menarik yang sebenarnya mencuri perhatian saya.

Mesjid Baiturrahim, yang katanya pada hari Jumat terbuka untuk masyarakat ingin yang ingin sholat Jumat di sana, menarik saya dengan tampilan kubahnya. Pada bagian bawah kubah tampak kelopak-kelopak bunga yang biasanya ada di patung-patung dari candi kita. Teratai yang menjadi simbol kemurnian, kesucian, dan pengharapan akan kehidupan yang baru setiap hari, menjadi salah satu elemen dekoratif yang dipakai arsitek Indonesia R.M. Soedarsono dalam pembangunan mesjid mungil ini.

Memasuki Istana Merdeka, saya segera tertarik dengan bebagai benda seni yang terpajang disana. Di tembok istana, yang menurut pemandu tidak pernah diubah sejak zaman Belanda kecuali lambang negara yang berada di puncak empat buah cermin yang menghiasi Ruang Kredensial ini, terlihat ornamen bergambar ikan dengan wajah naga yang saling bersilangan. Di bagian atas ornamen itu terlihat gambar burung, yang kemungkinan besar burung elang. Saya selalu tertarik dengan simbol-simbol seperti ini, dan sesungguhnya ingin tahu apakah ornamen ini juga berasal dari arsitek Belanda, Drossaers, atau bahkan berasal dari sejak masih menjadi rumah biasa milik JA van Braam (1796).

Yang pernah saya dengar, istana Bogor memiliki lebih banyak lagi koleksi benda seni. Tapi disini saya merasa sudah cukup senang bisa melihat sedikit dari kekayaan koleksi negara ini. Patung pengantin karya F. Widayanto mengucapkan selamat datang kepada kami yang baru memasuki istana, lalu koleksi lain seperti keramik kuno, dan lukisan-lukisan pelukis terkenal seperti Basoeki Abdullah dan Raden Saleh. Ada juga lukisan Gajah Mada karya Henk Ngantung, pelukis dan budayawan yang pernah menjadi gubernur Jakarta pada periode 1964-1965. Atau lukisan pelukis istana Harijadi yang menggambarkan wajah Tuanku Imam Bonjol.

Tentu saja saya tidak boleh berlama-lama di dalam istana, karena saya bisa tertinggal rombongan lainnya. Di halaman tengah istana saya terpesona melihat patung Pertapa Tua karya Bambang Krisyono, juga sebuah patung ibu dan anak yang tampaknya sedang belajar. Patung yang ini saya tidak tahu karya siapa, karena posisi pemandu agak jauh dari saya sehingga sulit bagi saya untuk bertanya. Ada juga sebuah patung batu berasal dari candi abad ke IX yang menggambarkan Dhyani Bodisatva.

Pemandu kelompok kami adalah seorang Polisi Wanita yang cantik dan ramah bernama Selvi. Hari itu kebetulan kelompok kami menjadi rombongan pertama yang harus dipandunya, tapi pernah juga dia harus memandu lima kali dalam satu hari. Terbayang betapa penatnya, karena yang diterangkan tentunya harus sama. Tidak seperti di Museum Nasional yang memungkinkan pemandu berganti topik atau memilih benda pamer yang berbeda untuk dijelaskan.

Sejak dibuka akhir bulan Mei 2008 ini memang gairah masyarakat untuk mengenal istana lebih dekat terasa tinggi, paling kurang seribu orang dalam satu hari kunjungan, bahkan kunjungan pernah mencapai seribu enam ratus orang dalam satu hari. Biasanya hari Sabtu jauh lebih padat kunjungan daripada hari Minggu. Tapi Minggu pagi kemarin, rombongan dari luar kota berdatangan sehingga terasa sekali kepadatannya.

Sistem masuk yang siapa datang terlebih dahulu dan mendaftar di tempat memang lebih menyenangkan bagi orang-orang yang suka datang dadakan. Beberapa tahun yang lalu saya pernah ke Istana Bogor dan tidak bisa masuk karena tidak mendaftar terlebih dahulu ke Sekretariat Negara.

Indonesia memang memiliki lima buah istana kepresidenan yaitu di Jakarta, Bogor, Cipanas, Jogjakarta, dan Tampaksiring (Bali). Yang dahulu saya ketahui boleh dimasuki umum dengan mendaftar dan pemeriksaan melalui Sekretariat Negara adalah istana Bogor dan istana Cipanas.

Tetapi bagi pengunjung dadakan ini biasanya juga tidak terlalu mengerti aturan baku istana. Tampaknya akan lebih bijaksana untuk mengizinkan masyarakat masuk asal berpakaian rapi dan pantas untuk masuk. Dengan demikian turis asing backpackers yang ingin masuk ke istana juga bisa masuk, asal bersedia antri lama.

Teman-teman yang tidak berhasil masuk ke dalam istana membuat saya penasaran dengan kebiasaan secara universal dalam mengunjungi bangunan yang teramat penting bagi negara ini. Karena merasa tidak berpengalaman memasuki gedung istimewa yang sehari-harinya dihuni pemimpin negara, maka saya mencoba mengunjungi web site Gedung Putih, dan menemukan sebuah link yang lebih detail menjelaskan tentang kunjungan ke Gedung Putih. Yang memandu perjalanan di Ruang Oval bahkan mantan presiden George W. Bush sendiri, mungkin karena link ini memang portal Presiden George W. Bush. Beliau banyak menjelaskan tentang lukisan yang kebanyakan berkisah tentang Texas, daerah asalnya yang juga akan menjadi tempatnya selepas menjadi Presiden Amerika Serikat.

Tampaknya untuk kunjungan ke Gedung Putih di dunia nyata pakaian tidak menjadi perhatian utama. Hanya jenis barang bawaan sangat diperhatikan, walaupun payung ternyata masih tetap boleh dibawa.

Tetapi ada satu hal penting yang biasanya saya perhatikan, tetapi kemarin terlupakan karena pesona karya para maestro di dalam aura Istana. Hal itu adalah fasilitas bagi orang dengan kemampuan berbeda. Di Gedung Putih, fasilitas ini tersedia bagi mereka yang memiliki kebutuhan khusus secara fisik, pendengaran yang berbeda, maupun yang memiliki penglihatan yang berbeda. Saya rasa seharusnya Istana Merdeka memiliki fasilitas serupa, bukankah kita pernah memiliki Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dan Ibu negara Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid? Mereka pernah bertempat tinggal di dalam istana Merdeka. Yang jelas, tidak terdapat fasilitas khusus kamar kecil bagi pengunjung berkebutuhan khusus di ruangan penerima dimana kami dipersilahkan memakai fasilitas kamar kecil. Kebetulan kemarin saya juga tidak melihat pengunjung dengan kriteria berkebutuhan khusus.

Perjalanan ke bangunan tua selalu menarik perhatian saya, apalagi sebuah kunjungan ke Istana Merdeka yang baru pertama kali ini saya kunjungi. Sebuah kunjungan yang membuat saya tertarik menyambangi Gedung Putih melalui dunia maya. Semoga istana untuk rakyat ini tetap akan terbuka untuk rakyat.

1 comment:

Anonymous said...

Saya pernah ke halaman Istana Negara karena kebetulan dapat tugas (Marching Band Korps Putri Tarakanita) menurunkan bendera 17 Agustus di sore hari. Ingin juga masuk ke dalamnya.

Salam,
Inge Sundoko