Sunday, 14 September 2008

Benarkah Jurnalisme Warga Bebas Nilai?

Sabtu, 13-09-2008 08:31:05 oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Opini



Tuduhan bahwa jurnalisme warga (citizen journalism) dalam berbagai bentuknya, baik dalam bentuk portal partisipatori warga, blog, maupun milis tidak mengenal etika atau bisa dikatakan bebas nilai sudah lama terdengar. Baru-baru ini harian Kompas (Senin, 8 September 2008) mengangkat masalah ini dalam kolom Teknologi Informasi harian tersebut, berjudul “Jurnalisme Warga, Teknologi, dan Bebas Nilai” Menjadi suatu pertanyaan bagi saya bahwa tudingan bebas nilai ini masih kental terasa dalam artikel ini. Apakah benar jurnalisme warga bebas nilai?

Perdebatan mengenai blogger dan jurnalis sudah lama berlangsung di dunia internasional. Tetapi pada awal tahun 2005 Jay Rosen, seorang kritikus pers, penulis, dan dosen jurnalistik dari New York University, menurunkan sebuah artikel yang berjudul “Bloggers vs. Journalists is Over”, bahwa persaingan antara para blogger dan jurnalis sudah usai. Dalam tulisannya yang masih tertayang di dunia maya antara lain dikutip pandangan Rebecca Blood, penulis buku Weblog Handbook, yang menyatakan:

“Ketika seorang blogger menuliskan laporan harian dari sebuah konperensi internasional, seperti yang dilakukan David Steven pada tahun 2002 dari Pertemuan Dunia mengenai Pembangunan yang Berkelanjutan, itu adalah bentuk dari jurnalisme. Ketika seorang reporter majalah menggunakan sebuah press release tanpa mengecek fakta, ataupun berbicara kepada nara sumber tambahan, maka itu bukan sebuah bentuk jurnalisme. Ketika seorang penulis kolom opini memanipulasi fakta untuk membuat kesan yang tidak mengandung kebenaran, maka itu bukan pula jurnalisme. Ketika seorang blogger mencari daftar fakta yang ada dan menemukan bahwa pernyataan seorang figur publik ternyata tidak benar, maka itu adalah bagian dari jurnalisme. Ketika seorang reporter mengutip pernyataan seorang politikus tanpa memverifikasikan apakah hal itu benar, maka itu bukan bentuk jurnalisme.”


Pandangan serupa saya dapat dari percakapan e-mail dengan Dan Gillmor, salah satu penggiat jurnalisme warga, ketika saya menanyakan perbedaan antara blogging dan citizen reporting. Menurutnya tidak ada batasan yang jelas untuk membedakan antara blogger dengan citizen reporter, karena memang ada berbagai macam bentuk portal citizen journalism. Ada komunitas blog, ada portal citizen journalism (partisipatori warga). Ada blog dan portal partisipatori warga yang melalui proses editing, ada yang tidak.

Kejadian Tsunami yang melanda Asia (termasuk di dalamnya Aceh dan Nias) membukakan mata dunia bahwa jurnalisme warga merupakan satu aset yang berharga dan bisa membantu dunia jurnalistik. Hal ini dikutip Jay Rosen dari blog Steve Outing, yang catatannya tentang sebelas lapisan citizen journalism seringkali digunakan dalam membicarakan jurnalisme warga. Partisipasi warga sebagai saksi mata selain memberikan nuansa yang berbeda, dalam kasus-kasus seperti kejadian penabrakan pesawat di WTC (New York, 2001), tsunami di Asia (2004), maupun pemboman di London (2005) juga memberikan berita dengan kecepatan yang jauh lebih cepat daripada jalur media konvensional.

Tentu saja ada beberapa hal lain yang juga terekam dari partisipasi warga ini. Dari kejadian bom di London lalu timbul juga pertanyaan apakah para pewarta warga ini juga sudah menjadi paparazzi? Dalam hal pengambilan gambar dalam kaitannya dengan privasi orang di ruang publik memang menjadi hal yang penting bagi media konvensional yang berpegang pada etika jurnalistik. Bagi Dan Gillmor yang bisa mencegah hal itu hanya norma kultural dan pengembangan kesepakatan bersama tentang privasi di ruang publik.

Tulisan Jay Rosen yang diturunkan setelah mengikuti Konperensi “Blogging, Journalism, and Credibility” itu menganggap perseteruan blogger dan jurnalis sudah usai. Filter editorial bisa juga diperoleh secara daring bila orang berinteraksi dengan berita itu. Kredibilitas bagi sebuah media akan banyak berhubungan dengan kepercayaan yang diperolehnya, dan kepercayaan itu akan membesarkan merek (brand) yang diusungnya. Bagi seorang penulis hal yang sama juga berlaku, kredibilitas akan mempengaruhi kepercayaan publik kepadanya.

Menurut Dan Gillmor sudah menjadi tugas pembaca untuk mencari sumber informasi yang dapat dipercaya, entah dari reputasi sumber itu, atau dari rekomendasi orang lain, maupun analisa pribadi orang itu atas berita yang sedang dibacanya.

Jadi apakah sebuah berita daring bebas nilai? Rasanya tidak, melalui situasi interaktif akan terbentuk sanggahan bila ada hal yang salah. Berharap lebih banyak lagi orang-orang yang profesional di bidangnya masing-masing untuk memberikan masukan dan sanggahan sehingga akan menjadi sumber informasi yang lebih akurat.

Apakah jurnalisme warga di Indonesia berkembang liar dan tidak mencerminkan prinsip-prinsip jurnalisme? Melalui kegiatan interaktif artikel dan komentar pembaca (yang diharapkan bisa memberi masukan dari masyarakat awam maupun professional di bidang yang dibahas artikel tersebut), akan tercipta proses pembelajaran kepada masyarakat untuk pandai memilah sumber informasi. Dalam proses ini penulis informasi juga bisa belajar melihat reaksi yang timbul dari tulisannya. Dari situ akan timbul kesadaran mengapa suatu hal menjadi hal yang sensitif, dan mengapa suatu tulisan bisa membuat opini yang jauh berbeda dari pikiran awal penulis. Para jurnalis media juga bisa memanfaatkan hal ini untuk belajar dan lebih meningkatkan profesionalitas mereka.

Apakah tulisan yang dimuat di portal daring dianggap sebagai kebenaran hakiki? Pembaca, terutama yang saat ini mampu menjangkau ranah internet di Indonesia, tentunya sudah mempunyai filter-filter yang jauh lebih tinggi daripada masyarakat awam. Filter-filter ini yang akan menjadi penyaring informasi media yang tidak benar yang bisa jadi akan menjadi opini publik yang salah. Filter seperti ini yang diharapkan bisa berkembang dalam forum-forum komunikasi masyarakat.

Di wikimu cukup banyak kontributor yang setiap kali menyuarakan pentingnya pemeriksaan ulang sumber berita. Yang tidak bosan mengingatkan bahwa sumber seperti Wikipedia juga seringkali tidak sempurna, atau memberikan masukan tentang etika dan tuntunan dalam menulis untuk konsumsi publik. Tetapi pembelajaran yang paling berarti berada di dalam interaksi itu sendiri. Jadi kalau anda sekarang membaca artikel, jangan lupa klik kolom komentar, dan baca komentar-komentar yang masuk!

1 comment:

Anonymous said...

Cita-cita saya yang sampai saat ini belum terwujud adalah menulis "yang sungguh2 jurnalistik". Info dari Kak Retty tentang ini sungguh bermanfaat. Dalam seminar jurnalistik masa saya kuliah di akademi sekretari, Mas Mayong Suryoleksono pernah bilang, "kebenaran suatu berita membutuhkan rentang waktu kejadian". Kenyataannya kadang media massa dalam penyampaiannya beritanya agak memihak :) we know it... dengan jurnalisme warga, mungkin rentang waktu itu tidak dibutuhkan lagi, sedikitnya dengan nilai aktual yang dimiliki jurnalisme warga (bahkan mungkin prinsip2 jurnalisme otomatis sudah terkandung di dalamnya CMIIW, lihat http://jembatan-buatan.blogspot.com/search/label/Jurnalistik) Mudah2an semangat itu semakin meluas...

Sering-sering nulis tentang jurnalistik ya Kak Retty (mau enaknya, hehehehe..)

Salam,
Inge Sundoko