Gereja (dengan huruf G besar) bukan sekedar bangunan gereja yang diam pasif, ia berisi kumpulan umat dan anggota hirarki yang memimpin umat Katolik. Justru Gereja inilah yang membangun gereja-gereja yang terlihat secara kasat mata.
Dalam rangka perayaan lima puluh tahun Paroki Santa Perawan Maria Ratu, Kebayoran Baru, yang termasuk dalam Keuskupan Agung Jakarta, maka umat paroki ini menerbitkan sebuah buku berjudul "Denyut Nadi Gereja Metropolis". Buku ini mencoba menapaki jejak sejarah kehadiran Paroki Santa Perawan Maria Ratu di bilangan Blok Q Kebayoran Baru.
Menarik bahwa buku ini dipersiapkan oleh kumpulan umat yang mencoba mengumpulkan data dan kisah seputar berdirinya sebuah gedung gereja dan pergulatan Gereja di dalam deru perkembangan kota Metropolitan Jakarta.
Kebayoran Baru memang dikenal sebagai kota satelit Jakarta. Pada tahun 1950-an Kebayoran Baru masih termasuk daerah pedalaman bila diukur dari keberadaan kota Jakarta. Pada saat itu gereja Katolik yang terdekat ke Kebayoran Baru adalah Paroki St. Theresia, Menteng.
Dari persekutuan yang kecil yang hanya beranggotakan belasan orang, umat terus berkembang seimbang dengan bertambahnya pemukim di wilayah Kebayoran Baru. Dari perkembangan ini terasa kebutuhan yang semakin tinggi untuk memiliki gedung gereja sendiri. Sulitnya perizinan untuk membangun gedung ibadat ternyata bisa menjadi berkat tersembunyi karena dalam proses perjalanan untuk memperoleh izin ini justru lahir kompleks sekolah di Blok B, Kebayoran Baru. Proses ini pula yang pada akhirnya melahirkan dua Paroki yang bagaikan saudara kembar dari satu rahim yaitu Paroki St. Yohannes Penginjil di Blok B dan Paroki St. Perawan Maria Ratu di Blok Q.
Sama seperti Jakarta yang terus bertumbuh, rupanya Gereja juga terus bertumbuh sehingga membutuhkan ruang gereja yang lebih mampung menampung kehadiran umat. Bila mesjid Istiqlal merupakan hasil karya seorang arsitek Kristen F. Silaban, maka perluasan gereja Blok Q ternyata merupakan hasil rancangan bersama Ir. Adi Purnomo, Ir. Rizal Mozart, dan Ir. Fredy Setiawan, dimana kedua arsitek yang disebut pertama tersebut beragama Islam. Sebuah kerjasama indah yang terbebas dari sekat-sekat perbedaan agama.
Walaupun buku ini lebih banyak berkisah tentang kegiatan-kegiatan umat Gereja, tapi sejarah yang dituliskan mungkin bisa menjadi bahan kajian akan berbagai aspek kehidupan secara umum. Misalnya, ada juga kisah bagaimana Pastur Bronke SJ yang pernah bertugas di Markas Besar Pandu se-Indonesia menjadi pelopor berdirinya Gugus Depan yang menggunakan nama pahlawan nasional Ignatius Slamet Riyadi.
Seperti diungkapkan panitia dan juga umat yang hadir dalam peluncuran buku ini, mungkin masih banyak hal yang terlepas dan perlu diperbaiki di kemudian hari, tetapi setidaknya satu langkah sudah terjejak.
Bagi yang pernah tinggal di Paroki St. Perawan Maria Ratu, Blok Q, buku ini mungkin juga bisa menjadi penghilang rindu dengan mengenang kembali berbagai kegiatan yang pernah mengisi hari-hari yang lalu. Bagi pembaca lainnya mungkin bisa menambah wawasan dalam mempersiapkan perkembangan dan tantangan dalam Gereja dan masyarakat di kemudian hari.
Romo Sumarwan SJ. pastur yang kini bertugas di sana, juga memberikan kata sambutan dalam peluncuran buku ini. Ia mengingatkan betapa besar kontribusi keterlibatan awam dalam perkembangan Gereja. Bukan hanya dalam perkembangan Gereja sebenarnya, tapi juga peran penting sebagai bagian dari masyarakat, bagian dari kota Metropolitan Jakarta, serta sebagai bagian dari negara Indonesia. Semoga buku ini bisa menjadi awal baik bagi umat untuk mengenali berbagai aspek dalam kehidupan bergereja dan bernegara.
link: http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=6497
No comments:
Post a Comment